1 6 - Thankyou

566 96 28
                                    

"Lo balik naik apa?"

"Biasa, bus." Aku menjawab pertanyaan Vera sambil menutup resliting tasku. "Lo jadi sama Tora?"

Vera mengangguk. Dia tadi bercerita bahwa Tora memintanya untuk menemani mencari sepatu. Semakin bertambah anggota yang tidak hadir jadi tidak ada acara main hari ini, yang artinya aku juga akan langsung pulang setelah membersihkan kelas.

"Yaudah, gue duluan, ya! Semangat!" Vera seperti biasa menepuk pipiku. Aku tersenyum lalu melambai ke arahnya sebelum kemudian mengambil sapu karena hari ini jadwal piketku.

Sekitar setengah jam, karena dikerjakan bersama, kelas langsung tampak bersih. Aku melambai ke arah teman piket yang lain lalu berjalan menuju gerbang ke luar.

Lorong sudah cukup sepi karena biasanya setelah bel pulang semua anak langsung berbondong-bondong ke lantai satu karena lantai dua dan tiga tidak ada apa-apa selain ruang kelas.

Aku menyusuri lorong lantai dua ini sambil melihat ke arah lapangan. Ada beberapa siswa yang asyik bermain basket, atau hanya sekedar duduk di tepinya, dan ada juga-

Nathan.

Bersama Sheryl.

Aku langsung menghentikan langkahku, berusaha melihat dengan lebih cermat.

Kulihat Sheryl tengah mengatakan sesuatu yang kemudian dibalas anggukan Nathan. Lelaki yang baru saja kutetapkan sebagai "dermaga baru" itu merogoh kantongnya lalu menyerahkan handphone-nya.

"Handphone?" gumamku sendiri. Aku menggelengkan kepalaku lalu melanjutkan langkahku ke bawah, berusaha tidak memedulikan apa yang terjadi.

Apa aku salah dermaga lagi?

"Ah, Vera sialan. Gara-gara dia gue jadi sedih karena hal sepele gini." Aku mengusap wajahku kasar lalu memutuskan untuk cepat-cepat pulang saja.

Menuruni tangga, melewati lapangan, aku tidak melihat kedua manusia tadi lagi. Aku lanjut meneruskan langkahku keluar dari sekolah dan menuju arah halte yang hanya berjarak sekitar seratus meter dari sekolah.

"Rena!"

Aku berjengit kaget mendengar namaku dipanggil dengan kuat. Aku membalikkan badan, melihat sang pemanggil datang menghampiriku bersama motornya.

"Lo, dipanggil daritadi gak nyaut. Emang pengen diteriakin, ya?"

Aku mengernyitkan kening mendengar aduan Nathan. Aku dipanggil sedari tadi?

Mengabaikan kenyataan tersebut, aku menoleh ke belakangnya, mencari tanda-tanda manusia lain yang mungkin dia bawa bersama.

"Kenapa?" tanyaku langsung. Dia menepuk jok belakangnya.

"Yok, ikut gue. Biar gak keliatan ngenes jalan kaki sendirian."

Aku tergelak seketika.

"Ke mana?"

💨💨💨

"Ke sini?"

Aku menatap tempat di depanku datar. Nathan menatapku geli sambil melepas helm-nya.

"Kenapa? Emang ngarep ke mana lo?"

Aku mendengus, tidak mau menjawab.

Nathan terkekeh sebentar lalu berjalan masuk duluan ke minimarket ini. Aku mendesah dalam hati.

Iya, ya? Gue berharap mau diajak ke mana tadi? Makan? Main? Nonton? Uhuk, uhuk!

Batinku yang terbatuk membuatku ikut terbatuk juga. Aku berdeham-deham sambil menelan ludah.

"Lo mau beli apa di sini?" tanyaku akhirnya setelah tenggorokanku terasa lebih enak. Nathan tampak membungkuk di depanku, meraih suatu barang yang terletak di rak bawah.

"Nih."

Aku melebarkan bola mataku melihat sebuah botol dijulurkan ke depan mataku.

"Apa ini?" Aku menerimanya dengan refleks. Tertulis "Obat Batuk" di label botol plastik tersebut.

"Gak buta huruf, kan?" Jawaban tidak langsung Nathan membuatku mendengus.

"Lo mau sweet aja kudu ada kejem-kejemnya, ya?" Sindiranku membuat Nathan yang tengah berjalan ke lorong minuman tertawa kecil.

"Lo dari tadi dehem-dehem mulu, sih. Berisik dengernya, gue beliin aja." Nathan membuka salah satu kulkas lalu mengambil satu botol air mineral.

"Peka juga lo, ya?" ucapku tersenyum geli.

"Jelas," jawabnya langsung dengan bangga. "Lo mau apa lagi?"

"Lo yang beliin?" tanyaku tidak percaya. Nathan mengangkat bahunya santai.

"Gue gak suka liat orang lesu. Biasanya orang kalo ditraktir langsung seneng, yaudah gue ajak ke sini."

"Gue lesu?" Aku bertanya sambil mulai memilih snack di rak. Tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan ini, tetapi tentu saja aku tidak mau berlebihan.

"Iya, sejak istirahat. Kenapa lo? Cemburu Rega punya pacar?"

Deg.

Bagaimana dia bisa sepeka itu?!

Tanganku tetap bergerak memilih kemasan walaupun jantungku rasanya berhenti sejenak, berusaha menutupi keterkejutanku.

"Buat apa?" jawabku dengan nada santai lalu mengangkat satu snack. "Gue mau ini aja."

"Itu?" ulang Nathan. "Lo nggak ngerasa lucu? Satu tangan megang obat batuk, satunya megang snack garing yang pedes gitu?"

Aku tergelak mendengar pertanyaannya yang ternyata masuk akal juga, diam-diam menghela nafas lega karena dia tidak berniat mengangkat topik sebelumnya.

Nathan membawa air mineralnya, obat batukku, dan jajanku ke kasir. Aku berdiri di belakangnya sambil melamun menatap punggungnya.

Haruskah kudeskripsikan Nathan sekarang?

Tidak, tidak. Biarlah kalian berimajinasi dulu sepuasnya mengenai bentukan Nathan ini.

"Renata."

Aku mendongak, menangkap Nathan yang tengah memasukkan kembalian ke dompetnya lalu mengikuti langkahnya keluar.

"Ini lo nganter gue pulang, kan?" tanyaku tanpa sadar. "Awas lo bawa-bawa gue tapi gak dibalikin."

Nathan terkekeh sembari memakai helm-nya.

"Dasar gak tau terima kasih. Udah dibawa jalan-jalan, dibeliin obat plus jajan, minta dianter pulang pun pake anceman."

Aku tersenyum geli mendengar dia berceloteh sebelum kemudian aku membuka mulutku.

"Makasih."

💨💨💨

hmmmm
aku greget sendiri ngetiknya

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang