3 8 - Melting

477 73 41
                                    

DOUBLE UP HEHE
sayang kalian >.<
ni ada manis-manis, enjoy!

💨💨💨

Kami melangkah masuk, mencari kursi kami, lalu duduk bersisian. Nathan duduk di sebelah kananku lalu tiba-tiba menjulurkan tangan kirinya begitu saja di sandaran siku.

"Nih, tangan gue di sini kalo butuh," ucapnya santai membuatku menggeplaknya bersamaan dengan pipiku yang memerah.

"Cukup."

Nathan tertawa lagi, membuat beberapa penonton menoleh penasaran.

"Enak juga macarin orang gak pernah pacaran kayak lo. Digodain dikit langsung kelabakan."

Aku memalingkan wajahku yang sudah sepenuhnya memerah. Semoga film-nya cepat mulai, lampunya cepat gelap, dan Nathan tidak bisa melihat wajahku.

Senyum lebar terukir di wajahku begitu iklan-iklan sebelum film muncul. Pasalnya aku memang jarang sekali menonton film langsung di bioskop. Ingat yang pernah kuceritakan di prolog?

Kalau tidak ingat, izinkan aku mengingatkan.

"...keadaan ekonomi yang sederhana tentu membuatku beradaptasi. Maklum jika aku lebih suka sesuatu yang semu. Seperti men-download film baru dengan kuota malam..."

"Baru iklan, udah senyum-senyum duluan."

Teguran Nathan membuyarkan lamunanku. Aku berdecak.

"Gue udah pernah bilang jangan liat ekspresi gue tanpa permisi," desisku mendorong bahunya kesal dan dia hanya terkekeh kecil.

Waktu pun berlalu. Aku dan Nathan fokus menonton sambil sesekali memakan popcorn yang ada di pangkuanku.

Alur mulai memasuki klimaks. Benar kata Nathan, banyak sekali jumpscare di film ini. Entah aku yang terlalu kagetan sehingga sering terkesiap sendiri atau Nathan yang tidak punya adrenalin sehingga tidak bereaksi sama sekali.

Tapi aku bisa mendengar orang-orang di sekitarku menahan nafas. Artinya dia yang tidak normal, kan?

Gadis tuli itu melihat ada kotak P3K, menempel di dinding ruang masinis kereta yang sudah terbengkalai itu. Pintu yang macet membuat tangannya berusaha meraih sekuat mungkin dari luar sembari berusaha mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Sampai tiba-tiba sebuah mayat tinggal tulang jatuh dari belakang pintu, membuatnya mundur seketika. Menciptakan suara, memanggil sang monster tiba.

Aku terkesiap dengan kejadian yang begitu cepat terjadi, hingga secara tak sadar tanganku mencengkeram pergelangan tangan orang di sebelahku.

"Udah dibilang kalo kagetan pegang tangan gue," bisiknya geli membuatku teralihkan dari kejadian menegangkan barusan.

"Ish, emang lo gak-"

Bibirku mengatup bersamaan dengan telapak tangan Nathan yang meraih telapak tanganku. Menelusupkan jemarinya di antara sela jariku, membuatku jantungku berdebar gila-gilaan.

Ap-apakah ini?

"Lo ngapa-"

"Itu liat, monsternya mendekat."

Aku mengalah dan kembali menatap ke layar dengan tangan Nathan yang masih menggenggam tanganku. Rasanya hangat dan nyaman, berbeda jauh dengan scene yang sedang terjadi di film.

Pikiranku kembali mencoba fokus, beradaptasi dengan jari-jari lain yang hinggap di antara jemariku. Sesekali genggamannya mengerat, sesekali mengendur. Terus berulang, membuatku beberapa kali salah fokus sendiri.

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang