1 3 - Altered Prow

607 104 25
                                    

Rega menoleh ke belakang, lalu dengan cepat berdiri meninggalkan meja tanpa sepatah kata apa pun. Vera yang masih asyik bercerita ke Ivan terkejut.

"Kenapa Rega?" tanya Vera kepadaku. Aku mengangkat bahuku karena memang aku tidak tahu.

"Siapa?" Peter terbangun dengan mata mengecil, berusaha memahami keadaan sekitar. "Oh, itu. Yang katanya sepupunya Rega, kan?"

"Udah biasa," balas Tora yang tadi terbangun sejenak lalu kedua insan itu memilih untuk kembali terlelap.

Aku mengamati diam-diam. Kali ini mereka tampak berdebat, padahal biasanya seperti hanya mengobrol saja. Terlihat dari gestur Rega yang tampak lelah menjelaskan sesuatu dengan tangan yang digerakkan beberapa kali. Sedangkan perempuan yang kuduga bernama "Fanya" itu tampak kesal sembari menunjuk-

-Aku?

Telunjuknya mengarah ke meja ini, namun mengapa aku merasa dia lebih menunjuk ke arahku?

"Berantem?" tanya Ivan yang juga memperhatikan.

"Iya kayaknya," balasku lalu mengalihkan pandangan, "Gue jadi semakin penasaran sama cewek itu. Auranya kayak nyuruh-nyuruh Rega gitu, soal-"

"Ssst," potong Vera membuatku menoleh dan melihat Rega dan sepupunya tengah menuju ke sini bergandengan tangan.

LOH?

"Heh, bangun! Cepetan!" bisik Ivan sambil menepuk-nepuk Peter dan Tora cepat, membuat keduanya terpaksa membuka mata.

"Ap-"

"Gais, kenalin," ucap Rega langsung. "Fanya."

Tuhkan, namanya Fa-

"Pacar gue."

Oh, pacar.

Loh?

EH?

LHO?

Aku tidak memasang ekspresi apa pun meski batinku heboh sendiri.

Aku melirik Fanya ini. Baru kali ini aku lihat dari jarak sedekat ini. Kulitnya putih mulus, rupanya cantik walaupun aku tidak begitu menyukai garis wajahnya, tatanannya pun terlihat anggun.

Tidak, ini bukan saatnya mendeskripsikan gadis itu.

INI HATIKU BAGAIMANA INI?

Keadaan hening sekitar beberapa detik. Vera melirikku dan aku pun balas meliriknya. Tidak ada yang bersuara.

"Wah, sialan lo! Ngakunya sepupu terus, ternyata pacaran!" Peter tiba-tiba berdiri lalu menggeplak kepala Rega, membuat yang punya kepala meringis.

"Hehehe, biar surprise."

"Surprise gundulmu!" seru Ivan. Kami akhirnya tertawa melihat Rega yang dibuli-buli. Sedangkan Fanya tertawa kecil.

"Maaf ya, kalau mengganggu."

Suaranya lembut sekali. Senyumnya pun tak juga larut yang bagiku jadi terkesan creepy.

"Eh, gapapa. Sini-sini, Fanya. Lo kelas berapa?" Vera mengajak Fanya duduk di sebelahnya.

"Kelas sepuluh ipa delapan, kak."

"Oh, mainnya anak IPA ya, Ga?" goda Tora karena mereka semua memang mengambil kelas IPS. Rega hanya cengengesan.

"Tadi kita ngantuk banget tau, dek. Tapi gara-gara news ini jadi melek semua," kata Ivan mencoba mengakrabkan diri.

"Bener, kamu lebih kuat daripada kopi," sahut Vera lalu tertawa. Aku yang kenal Vera selama empat tahun ini tahu betul itu adalah tawa terpaksanya. Untung Vera ini memang orang yang suka tertawa jadi sekilas tak akan terlihat bedanya.

"Itu pujian, kan?"

Seisi meja hening. Kulihat Rega hanya diam melihat respon Fanya yang agak aneh ini.

"Ya, pujian dong!" sambar Vera membuat Fanya akhirnya tertawa dengan penuh kesopanan. Setelah itu, Vera menanyainya banyak hal, berusaha menghidupkan suasana.

Aku memasang wajah menyimak walaupun sebenarnya tidak. Aku melirik Rega sebentar lalu menunduk.

Cukup sakit juga. Baru saja tadi angan-anganku membayangkan tinggi sekali, lalu seketika realita menegaskan tidak ada harapan sama sekali.

Hiks.

💨💨💨

"Yang sabar ya, Ren."

"Gue ngerti kok, gimana rasanya."

"Selama janur kuning belum melengkung, masih ada kesempatan. Eh, sesat banget gue."

"Jangan terpuruk, Renata."

Vera menepuk punggungku beberapa kali, terus mengoceh sendiri sembari mengikuti langkahku. Aku berdecak.

"Lo kenapa, sih?!" tanyaku sewot. Vera tertawa.

"Abis lo kayak orang patah hati."

"Dari mana?" tanyaku lagi dengan nada judes sambil terus berjalan kembali ke kelas karena bel masuk akan berbunyi.

"Tuh, ngegas mulu. Orang patah hati itu orang yang gak mau ngakuin kalo dia lagi patah hati."

"Ya gimana, Ver?" Aku melunak. "Dia doi pertama gue setelah empat tahun. Setelah sekian lama, gue akhirnya merasa baper. Eh, terus dia punya pacar sebelum gue bertindak apa-apa."

Vera kali ini tidak menertawaiku. Dia bahkan mengelus bahuku lembut.

"Lo jangan kayak gini, Ren." Vera berkata pelan. Aku menatapnya memelas.

"Kenapa?"

"Gue bawaanya pengen nabok."

Aku menggeplak tangannya dan akhirnya Vera melepas tawanya yang ditahan sedari tadi.

"Gue ini beneran sedih, tau?"

"Lo gak pantes sedih!" Vera masih tertawa. "Rasanya aneh aja lihat lo sedih. Biasanya lo yang enjoy kemana-mana. Asal ada internet, pasti senyum mulu. Sekarang? Lesu cuma gara-gara cinta."

"Lo yang suruh gue pacaran," sungutku. "Ya, mana ada yang bisa kontrol hati?"

"Santai aja, kan masih ada Nathan."

Aku menghela nafas.

"Nathan mana mau sama gue. Dia dari awal ketemu udah keliatan banget gak cocok. Ngatain gue boros lah, bawel lah, ini lah, itu lah. Gak akan mau dia."

"Lo jangan sok tau," Vera menyentil keningku. "Tenang aja, lo punya gue. Kita pasti bisa."

💨💨💨

siapa yg sayang Vera?💞

*up setiap sen, rab, jum

WiFi [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang