[ Arsa dan Pertemuan Awal ]

188 33 3
                                    

Setelah bertemu dengan Arsa di kantin tadi, suasana hati Nami benar-benar dalam keadaan tidak baik. Sesampainya di kelas, bukan duduk di bangkunya, ia justru memilih duduk di bangku pojok samping jendela. Melamun, itu hal yang dilakukan Nami saat ini. Sudah seminggu ia tidak melihat Arsa, tapi dipertemukan dengannya seperti ini membuat proses move on Nami semakin lama.

Katakanlah ia memang akan selalu bertemu dengan Arsa karena mereka berada pada sekolah yang sama. Tapi, seminggu yang lalu Nami baru saja bertekad untuk melepaskan cinta pertamanya yang sudah ia suka sejak tiga tahun lalu. Nami sengaja menghindar ketika ada kemungkinan untuk bertemu Arsa. Ia berusaha sebaik mungkin agar tidak bertemu dengan Arsa. Tidak disangka, ia justru bertemu Arsa di kantin.

Ia tidak berpikir Arsa akan ke kantin, karena Nami tahu Arsa lebih nyaman berada di kelas dan melakukan hobinya sejak dulu, gambar. Nami pun tiba-tiba mengingat saat dimana ia bertemu Arsa untuk pertama kali. Saat ia mulai merasa apa itu jatuh cinta setelah tiga belas tahun hidupnya diisi dengan belajar dan tidak mengenal lelaki selain ayah, keluarga, dan teman baiknya.

Tiga tahun lalu, di SMP Bina Nusantara.

Hari itu adalah salah satu hari yang mendebarkan bagi Nami, gadis kelas dua SMP yang akan memasuki kelas barunya. Sebelum itu, ia harus melihat papan pengumuman sekolah yang berisikan daftar nama dan kelas yang akan ditempati. Ia menelusuri setiap kelas dan mencari namanya. Sampai ia menemukan kelasnya, yakni kelas 2-A. Daftar nama bukan diurut dari abjad, melainkan dari kelas tujuh atau kelas sebelumnya.

Walaupun nama siswa berawalan Z, jika dia dulu kelas 1-A namanya tidak akan ada di belakang. Sebaliknya, walaupun nama siswa berawalan A, jika dia dulu kelas 1-E namanya tidak akan ada di depan. Setelah menemukan namanya, ia juga melihat siapa saja yang akan menjadi teman sekelasnya. Ketika semua sudah terbaca olehnya, ia menemukan satu nama yang tak pernah ia tahu sebelumya, baik nama maupun orangnya.

Nomor 24, Arsa Aditya Mahendra.

Siapa dia? Entahlah, untuk saat ini Nami tidak tahu dan tidak peduli.

Nami memasuki kelas barunya yang berada di pojok. Bersama Mila, teman satu kelasnya dulu, ia memasuki kelas. Belum banyak siswa memasuki kelas ini. Kemudian, Nami bertemu dengan Meira, teman yang biasa menunggu bus sepulang sekolah dengannya.

"Mei, Akhirnya kita bisa sekelas ya! Bisa nunggu bus sama-sama nih kalo pulang"

"Iya, kebetulan banget gak sih?"

Nami yang tanpa malu memulai perkenalan itu akhirnya duduk tepat dibelakang Meira. Perlahan namun pasti, beberapa teman sekelasnya masuk. Tidak ada yang aneh, Nami mengenali semua temannya. Namun, ketika siswa terakhir masuk, pertanyaannya muncul.

"Mei, itu siapa ya? Kok gue gak pernah tau?"

"Itu Arsa, dulunya anak kelas D. Anaknya emang pendiem gitu sih, kenapa emangnya?"

"Gapapa" Nami cukupkan untuk bertanya pada Meira walau sebenarnya ia penasaran.

Setelah Nami melihatnya, ia biasa saja. Beberapa hari setelah mereka memasuki kelas pertama, Nami masih menaruh perhatian pada Arsa, entah apa yang membuatnya seperti itu. Seumur-umur, ia tidak pernah penasaran pada seorang laki-laki seperti ini. Sampai akhirnya, Nami bisa menyimpulkan bahwa: Arsa adalah lelaki yang pintar dan menyebalkan.

Awalnya, Nami memang acuh tak acuh tentang apapun yang dilakukan oleh Arsa. Namun, entah apa yang membuatnya memperhatikan lelaki tersebut. Apa ia jatuh cinta? Muncul pikiran yang tidak pernah Nami bayangkan sebelumnya. Ia berpikir tentang cinta karena kemarin tiba-tiba Meira bercerita tentang kisah asmaranya. Jujur, Nami tidak tahu karena dia juga belum berpengalaman. Tapi, Nami akan selalu mendengarkan cerita sahabatnya sebaik yang dia bisa.

***

Hari itu, tepat satu bulan Nami bersama 2-A. Selama itu pula, ia membagi pikiran. Ya, pikiran untuk belajar dan pikiran untuk seorang Arsa. Menyebalkan. Kemarin, Bu Melati membagikan kelompok matematika pada kelas Nami. 'Matematika tuh ngapain sih pake kelompok segala' pikirnya waktu itu. Tapi, pikirannya berubah saat mengetahui bahwa ia satu kelompok dengan Arsa. Hari itu, setelah pembagian kelompok, Nami dan teman kelompoknya langsung berunding di kelas saat istirahat.

"Ini mau dibuat gimana?" tanya Nami ragu-ragu.

"Kita buat kerangkanya dulu. Materi kita kan al-jabar, kita jelasin mulai dari pengertian, awal mula, cara-cara, sampai contoh soal. Kalo materi udah ada, kita bagi jadi dua, satu ngerjain power point dan satu lagi buat makalahnya."

Ya, itu Arsa. Kalian sudah tau penggambarannya? Nami bertanya satu pertanyaan singkat, tapi dijawab dengan panjang lebar.

"Yaudah, kita mulai ngerjain materinya. Wordnya biar gue, Clara, sama Farhan aja yang ngerjain. Power pointnya biar Nami sama Arsa. Gimana?" Meira membuat pembagian seenak jidatnya.

"Setuju" teriak ketiga teman-teman baikku itu.

Alhasil, hari ini juga, di perpustakaan sekolah Nami dan Arsa sedang membuat power point untuk kelompoknya. Ralat, hanya Nami. Arsa hanya memegang buku catatan yang sangat abstrak dan Nami sedang berkonsentrasi pada laptopnya.

"Arsa, ini mau dibuat gimana ya?" Arsa yang ditanya seperti itu masih diam.

"Buku gambarnya ditaruh dulu bisa kan?" Nami mencoba berbicara lagi.

"Tinggal copy-paste aja apa susahnya sih, materinya kan juga udah ditaruh word."

Nami heran, tidak percaya dengan orang dihadapannya saat ini. 'Oh, jadi gini orangnya? Gila juga' batin Nami.

"Tapi enggak semua yang ada di word ditaruh power point. Kita kan perlu tambahan materi, Ar." kata Nami menahan emosi.

Arsa diam sejenak, baru kali ini ada orang manggil dia dengan 'Ar', biasanya ia kerap disapa dengan awalan 'Sa'. Arsa memposisikan dirinya kembali, ia melihat dan membalas perkataan Nami.

"Lo kerjain tapi gue tungguin, atau mau ngedumel sama marah-marah sendirian? Gue tinggal aja ya lo, cerewet."

'Astaga, orang ini' Nami tidak habis pikir Arsa dengan gampangnya akan meninggalkan ia dan tugas kelompok mereka di perpustakaan.

"Oke, terserah. Disitu aja. Tapi kalau gue minta saran, tinggalin gambaran lo sebentar."

"Oke." Jawabnya singkat, singkat sekali.

Ya. Arsa hobi menggambar. Nami juga baru mengetahui fakta itu, lagi-lagi dari Meira. Seperti tahu jika Nami penasaran dengan Arsa, Meira selalu bercerita banyak hal tentang Arsa, dan Nami hanya membalas secukupnya. Buku catatan tadi sudah biasa digunakan untuk menggambar imajinasinya.

Arsa adalah orang yang cerewet, jika menyangkut hal-hal penting seperti tadi. Tapi, ia juga bisa seratus delapan puluh derajat berbeda jika sudah memegang alat gambarnya. Biasanya, dia lebih memilih menggambar beberapa bangunan yang terkadang terlihat seperti perumahan, gedung perusahaan, dan gedung di perkotaan lainnya.

Setelah itu, Nami mulai fokus mengerjakan tugasnya ditemani Arsa yang sibuk dengan bukunya. Fyi, mereka ada jam kosong, makanya mutusin buat ngerjain tugas daripada gabut. Lumayan, mengurangi tugas, daripada numpuk. Setelah satu jam mengerjakan, Nami yang sudah selesai pada tugasnya tidak memberi tahu Arsa. Ia justru sibuk diam-diam memperhatikan Arsa. 'Jahat sih, tapi gue suka' Eh, suka?

"Udah?" tanya Arsa membubarkan lamunan Nami.

"Hah?" balasnya kaget, Arsa menatapnya meminta jawaban.

"Oh iya, udah" jawabnya gugup

"Yaudah"

"Hah? Gimana?"

Tanpa menjawab Nami, Arsa pergi dari perpustakaan begitu saja. Namira? Tentu saja kesal, bisa dikatakan Arsa tidak membantunya sama sekali. Apakah ia melaporkan itu kepada kelompoknya? Tentu saja tidak. Ini adalah awal dari kisah cinta Namira.

***

Next?

Anaimy (JJH x JCY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang