Esoknya, setelah shubuh Nami tidak tidur lagi. Ia bersama ibunya kembali mengecek barang, takut ada yang tertinggal.
Setelah semua beres, Nami segera mandi, sarapan, dan menuju ke sekolah. Tak lupa, ia sudah meminum antimo, agar mengurangi kemungkinan mabuk darat.
"Hati-hati ya, Nam. Jangan pisah sama temennya. Doa terus disana" kata ayahnya setelah mengantarkan Nami ke sekolah.
"Iya ayah, siap!" Nami mencium tangan ayahnya dan pamit.
Siswa kelas XI mulai berdatangan sejak pukul 06.00. Pihak sekolah mengadakan sambutan terlebih dahulu dengan pemilik tour and travel, yaitu Rafa Chandra Pradipta.
Beliau datang bersama keluarganya, dan tentu saja ada Flora disana, yang sudah melihat Nami dengan tatapan sinis dan meremehkan. Teman-temannya tidak ada yang sadar, kecuali Meira, Desya, dan Raya.
Tidak hanya mereka, tapi Arsa pun tahu sekarang. Ia melihat Nami dan Flora dari samping —
eh, kok bisa?
Ya, karena kelompok Nami dan Arsa kebetulan ada di satu bus, sehingga wajar jika berdiri disamping mereka. Nami melihat Arsa sekilas, namun segera memalingkan muka, berpura-pura tidak ada yang terjadi.
"Itu yang namanya Flora?" Desya bertanya, dan hanya diberi anggukan oleh Nami.
Ia enggan mengeluarkan kata-kata dari mulutnya jika menyangkut Flora. Dirinya terlalu sensitif.
"Nama aja yang artinya bunga, harusnya sih wangi. Eh, ternyata aslinya busuk banget"
"Hust, gak boleh gitu. Ini bisa dicancel loh kalo mereka denger" Desya hanya memutarkan bola mata menanggapi Meira.
Sementara itu, Nami tiba-tiba sadar akan suatu hal. Raya terlihat tidak seperti biasanya. Mereka membicarakan beberapa topik, tapi Raya tidak kunjung membalas seperti biasanya.
Beberapa saat kemudian, tiba waktu dimana mereka menaiki bus. Kelompok Nami dan teman-temannya, termasuk Arsa ada di bus 3, bus yang diisi oleh sebagian kelas Arsa, dan sebagian lagi kelas Nami.
Sisa anggota dari kelas Nami berada di bus 4, bersama kelas tetangga. Bisa dibayangkan betapa rusuhnya jika satu bus diisi oleh semua anak IPS.
Bau bus yang khas membuat Nami tidak banyak bicara, takut sewaktu-waktu mabuk darat. Ia segera mengambil posisi, bersiap untuk tidur. Nami duduk di dekat jendela, bersama Meira disampingnya.
Sebenarnya, ia ingin duduk bersama dengan Raya, ingin bertukar tempat dengan Desya untuk sementara. Tapi apa boleh buat, Raya dan dirinya tidak bisa duduk di kursi samping jalan.
Mereka akan langsung pusing dan bisa saja muntah jika dibiarkan dan dipaksa tidak duduk di dekat jendela. Perjalanan berlangsung lancar, tidak ada hambatan.
Seperti pada umumnya, bus Nami juga tidak sepi. Mereka bernyanyi dan bersenda gurau. Sayangnya, Nami terlanjur pusing dan ingin memejamkan mata saja.
Meira sudah menikmati dan ikut dalam keseruan, tapi ia masih tau batasan. Pasalnya, mereka duduk dibelakang bangku guru dan pembina. Salahkan Desya mengapa mengambil kursi yang hampir berada didepan itu.
Untungnya, Nami dan Meira ada dibelakang Desya. Bukan dibelakang guru langsung, biarlah Desya menanggung perbuatannya. Raya juga sama seperti Nami, terlebih dia sedang tidak memiliki mood yang bagus.
Nami bertanya-tanya, sebenarnya ada apa dengan Raya. Jauh dari lubuk hati, Nami sangat penasaran. Tapi, ia juga tidak berhak memaksa Raya untuk bercerita. Baik Nami maupun ketiga temannya pasti akan bercerita jika sudah waktunya untuk bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anaimy (JJH x JCY)
Roman pour Adolescents"Gue tanya sekali lagi. Apa pernah gue ngasih harapan buat lo?" Gadis itu hanya diam. "Namira..." "Apa?" ia hanya bertanya kembali tanpa berniat menjawab pertanyaan sebelumnya. "Lo belum jawab pertanyaan gue" lelaki itu terus mendesaknya untuk menj...