iv. Dimensi yang Lain

1.9K 246 16
                                    

Gontai, Kaizo melanjutkan langkahnya menuju kafetaria. Sepi. Pengindranya memperhatikan sekeliling kafetarua. Matanya menemukan seseorang yang tak asing. Si gadis Glynne, yang harus dijaganya, tertelungkup di atas meja. Rambut cokelat panjangnya menutupi wajahnya.

Tidak terlihat mangkuk atau gelas di dekatnya.

Cari perhatian lagi?

Entah angin apa yang membawa dirinya  duduk di hadapannya. Kaizo menghela napas. Akhirnya ia bernapas. Sepi. Perjalanan dari ruangan laksamana jadi terasa lama sekali gara-gara otaknya penuh. Gara-gara hembusan napasnya begitu kasar.

Dia belum tenang.

Misi melindungi itu membingungkan.

Berat... sekali.

Tadi, kau kerasukan apa, bisa menerima?

Kaizo menarik napas dalam. Panjang. Mengembuskannya perlahan.

Karena... kau berbeda.

Kaizo menyadari.

Bahwa si gadis Glynne, tidak sama seperti gadis-gadis lainnya.

Lebih menyebalkan. Karena itu dia jadi lebuhs ering memperhatikannya.

Lebih menantang. Kaizo sadar, bahwa dia menjalani hidup seperti mengulang-ulang kaset radio. Dia bosan. Dia ingin lepas. Dia ingin bebas. Di ingin... kembali merasakan.

Semua kesengsaraan ini dimulai 8 tahun lalu.

Menarik. Sebab itu jumlah tahun yang sama dengan tahun terpisahnya saudara Glynne.

Semua kesengsaraan....

Kaizo menyadari, bahwa bertemu dengan si gadis Glynne membuatnya jadi lebih banyak merasakan emosi.

Kesal. Dia kesal sepanjang hidupnya.

Dendam. Dia punya dendam yang masih terpendam.

Cemburu. Melihat betapa tenangnya si gadis Glynne. Betapa gadis itu punya kontrol yang amat baik. Tak pernah marah atau tersinggung atau apalah. Santai. Tidak sepertinya, yang tipe senggol-bacok.

Embusan napas kembali terdengar. Kaizo sudah merasa lebih lega. Dirinya sudah bisa mengakui.

Matanya kini terpancang pada si gadis Glynne. Lebih fokus.

Dia juga...

... lebih cantik.

Kaizo kemudian ingat bahwa kesadaran ini merupakan salah satu hal paling awal di pikirannya.

Gadis itu cantik.

Dengan rambut panjangnya....

"Jangan potong."

Suaranya bergetar.

"Aku... lebih suka melihat perempuan berambut panjang."

"Kenapa kau tidak pernah merasa terbebani atas sikapku?" Pertanyaan kedua.

Tak ada jawaban.

Si gadis sempurna terlelap.

"Aku juga lelah," ungkap Kaizo. "Gara-gara kau." 

Kemudian, pandangan matanya tertuju pada bahu gadis di depannya. Matanya memyipit. Banyak patahan rambut.   Kaizo menelitinya lagi. Rambut. Tapi, mengapa warnanya....

Kaizo meraih helai rambut salju itu.

Uban.

Di usia 20 tahun?

Conceal | Kaizo [TO BE REWRITTEN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang