18 - drama lagi

650 77 8
                                    

Happy reading 💙

Sudah lamanya dari hari itu, hari di mana Ali tak lagi melihat batang hidung Sasya. Ia merasa bersyukur, itu artinya perempuan jalang itu masih menyayangi nyawanya bukan? Meskipun Prilly sekarang menjadi sangat cuek, tidak ada lagi Prilly yang selalu tersenyum padanya. Sama seperti waktu amnesia dulu.

“huf ... Sampai kapan? Aku sangat lelah menunggu hari di mana kamu mengukirkan senyuman indahmu itu,” bisik Ali, menatap lekat wajah damai Prilly yang sedang tertidur itu.

Menghembuskan nafas lelahnya, menegakkan tubuhnya. Melangkah ke arah kamar mandi. Tanpa ia sadari Prilly mendengar semuanya, ia sadar jika apa yang ia lakukan itu salah. Namun ia takut, takut jika suatu hari nanti Sasya kembali dan mengatakan jika dirinya hamil anak Ali. Dia belum siap menerima itu.

Membuka mata hazelnya, tersenyum tipis ke arah pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat. “aku juga kangen, Li ...,” sahutnya dengan pelan, melanjutkan tidurnya.

Ia fikir ini harus berakhir, toh selama 1 bulan lebih ini Sasya tidak meminta pertanggung jawabannya bukan?.

***

Pagi ini, di kediaman Ali. Lelaki itu sudah duduk di meja makan, menunggu Prilly yang sejak tadi belum keluar dari kamarnya. Sedang apa perempuan itu?.

Jengah menunggu wanita yang sudah menjadi miliknya itu, ia segera beranjak. Hendak melangkahkan kakinya ke arah tangga, namun terhenti sesaat melihat Prilly menuruni tangga dengan tatapan kosongnya.

Ada apa dengannya?

“sayang ... Kamu kenapa?” tanya Ali pelan, mengelus kepala Prilly sayang.

Mendengar penuturan dari Ali membuat Prilly menatapnya, tapi kali ini berbeda. Wanita itu tidak lagi menatap Ali dengan tatapan tajam, tapi dengan tatapan sendu. “lho, kok nangis sih? Kamu kenapa, hm? Cerita sama aku,” dengan sigap Ali meraih tubuh Prilly, biarlah jika nanti dia marah. Yang terpenting Prilly merasakan nyaman terlebih dahulu.

“hiks—aku mau ikut kamu hiks ...,”

Melepas pelukannya ke arah Prilly, menatapnya heran. Mengerinyit keningnya. Tumben sekali. “ehm, kamu lagi ga ngigo-kan? Kamu mau ikut aku ke kantor? Bukannya kamu—”

“shutt ... Jadi aku boleh ikut gak?! Kalo ga boleh ya udah, aku lanjutin marahnya!” sahut Prilly menatap tajam Ali, membalikkan tubuhnya. Hendak pergi.

Sedetik kemudian, langkahnya terhenti merasakan tangannya yang di tahan seseorang. Menatap Ali dengan datar. “jangan lanjutin marahnya dong, aku ga bisa di cuekin kamu,”

“dulu bisa,” Ali terdiam, dia merasa sakit saat mendengar Prilly mengungkit masa lalu kembali.

Tapi ia mulai tersadar, dia harus sadar diri. Ia telah melukai hati Prilly, jika seseorang sudah melukai hati itu tidak gampang menghilangkannya sama seperti menghilangkan luka di lutut. Luka hati pasti ada bekasnya dan selalu teringat bukan?.

“iya-iya aku minta maaf, kamu jangan kaya gini dong. Aku sedih tau,” rajuk Ali, lelaki itu mengerutkan wajahnya dengan lesuh. Ia sudah lelah mencari cara agar membuat Prilly berubah kembali seperti dulu. Mengapa sangat sulit rasanya?.

Prilly menghela nafas, niatnya ingin pergi jalan-jalan ke kantor Ali. Kenapa jadi drama seperti ini sih?!. “ya udah boleh apa gak?!” ketusnya, menyilangkan kedua tangan di dada.

Reinkranasi 1/2  [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang