⚠️ warning, typo! ⚠️
3.5 : end
***
Pagi ini kediaman Ali sudah di penuhi oleh pelayat, mereka sedang sibuk-sibuknya membaca yasin ada juga yang membantu membagikan makanan. Sedangkan tuan rumahnya itu, lelaki itu tengah di ikat di kamar. Ia terus meraung bahkan sesekali ia tertawa dengan kerasnya.
"PRILLY! KAMU DIMANA SAYANG! JANGAN ADA YANG BAWA PRILLY! SAYANG AKU TAKUT, KAMU DI MANA?!" pekik Ali dengan keras, tanpa tau membuat sang mamah Delia menangis dalam diam.
Anaknya itu terlalu mencintai Prilly, bahkan saat Melody tiada saja ia tak seperti ini. "maafkan mamah nak, Hiks ..." gumam Delia.
"yang sabar, aku yakin anak kita akan kembali lagi seperti dulu." sahut sang suami.
Setelahnya mereka pergi dari kamar utama Ali dan Prilly, turun ke bawah untuk melihat Prilly—menantu kesayangan mereka akan dibawa ke tempat peristirahatannya, terlihat jelas kedua orang tua Prilly sangat terpukul, bahkan Bianca sahabatnya juga sang suami menangis haru. "hiks—mamah mau dibawa kemana oma opa? Mamah kan tinggal disini." ucap Varo, anak itu hendak mengejar Prilly yang sudah di arak ke tempat pemakaman umum, namun di cegah oleh Delia. Wanita paruh baya itu langsung memeluk erat tubuh Varo.
"Varo harus ikhlas ya, mamah udah tenang. Dia mau istirahat,"
"Varo nakal ya makanya mamah pergi? Varo janji bakal sayang sama adik Illy, tapi mamah harus balik kesini lagi. Varo ga akan jahat sama adik Illy lagi," ucap anak itu tersedu-sedu.
Mata Delia berkaca-kaca, memalingkan wajahnya enggan melirik Varo. Rasanya ingin menangis, ketiga anak yang masih kecil itu sudah harus di tinggal oleh ibunya. Sangat kasian bukan?
"tuan, nyonya. Tuan Ali berusaha mendobrak pintu, saya rasa tuan Ali sudah lepas dari borgolnya." ucap Siska dengan raut ketakutan, pasalnya amukan Ali tadi membuat Illy dan anak kedua Ali dan Prilly—Lilly, menangis.
"apa?!"
***
Dor—Dor—Dor!
"buka pintunya! Gue mau ketemu Prilly, kasian dia sendiri! Woy!" pekik Ali dengan keras, tak mengindahkan tangannya yang sudah memerah karna ketukan keras Ali.
Tak ada yang berani membuka pintu sampai pada akhirnya papah Ali membuka sudah langsung di sambut wajah marah Ali, mata yang memerah dengan rahang yang mengeras, kedua tangan yang terkepal keras. Dapat di lihat banyaknya luka di lengan dan di jemari Ali.
"Prilly mana?" tanya Ali dengan mata yang sembab, ia berusaha mencari Prilly. Namun wanitanya itu tidak ada.
Kembali lagi, menatap Varo di depannya itu. "mamah kemana sayang? Kamu liat mamah ga? Tadi mamah bilang izin keluar mau bikin makanan buat papah, tapi mereka malah kunciin papah. Padahal papah udah laper banget." kata Ali dengan lembut.
Mata Varo sudah berkaca-kaca, melihat perubahan Ali yang sudah bisa di katakan seperti orang gila. "ma—mamah udah di bawa pah,"
"dibawa? Di bawa siapa?" sahut Ali dengan paniknya, ia segera melihat ke arah balkon dalam rumah. Melihat banyaknya orang-orang yang sedang tahlilan.
Siapa yang meninggal?
"siapa yang mati ha? Di sini ga ada yang mati?"
"mamah."
Semua terdiam, Ali mengepalkan tangannya. Menatap Varo tajam, ia mendekat ke arah Varo secara perlahan. Namun tubuh Varo langsung di ambil alih oleh Delia, wanita itu takut Ali akan berbuat yang tidak-tidak pada cucunya.
"mah kesiniin Varo,"
"enggak."
Mata Ali menatap Varo begitu tajam, menusuk. "maksud kamu apa?"
"siapa yang mati? Mamah kamu, iya? Kamu sumpahin orang yang udah lahirin kamu mati?" kata Ali dengan amarahnya.
Varo menunduk, ia menutup matanya rapat. Setelahnya ia kembali menatap Ali. "emang bener, itu mamah, pah. Mamah udah ga ada pas lahirin adik Lilly, dia udah ga ada pah." jelas Varo membuat Ali semakin marah.
"sini kamu!" Ali berusaha keras mengambil Varo, namun dengan cepat papahnya juga orang-orang dibawah yang mendengar membantu mencekal Ali.
Ali sudah seperti orang yang tidak waras sekarang. "dia harus di hukum! Dia udah bilang Prilly mati! Dia anak yang gatau di untung! Lepasin saya!" murka Ali, ia kembali berkaca-kaca.
Terduduk lemas, melepas cekalan itu dengan paksa. "kamu inget Varo, papah ga akan pernah maafin kamu kalo omongan kamu itu bohong!" desis Ali, ia kembali memasuki kamarnya membanting pintu dengan keras.
***
Sudah 1 bulan lamanya Ali berdiam diri di kamar yang gelap gulita hanya di terangi oleh tv juga jendela itu pun masih tertutup oleh gorden tipis, lelaki itu terus menatap tv menampilkan saat-saat mereka menikah berbahagia, saat honeymoon pertama dan kedua saat mengecek kandungan juga foto Prilly saat liburan ke sydnie. Sangat bahagia.
Menatap tv dengan pandangan kosong, tubuhnya mengurus. Tak pernah mau makan apapun bahkan Ali sempat drop karna sama sekali tidak makan, melalui infuslah dia baru bisa mendapatkan kehidupan. Cukup miris bukan? Varo juga menjadi pribadi yang tambah dingin, bahkan dengan keluarganya saja ia tak mau berbicara.
"Prilly," gumam Ali tersenyum, melihat kotak dekat tv. Mengingat dulu ia dan Prilly sedang bermain ikat mengikat.
Melirik ke arah bupet atau meja rias Prilly wanita itu tengah tersenyum sambil menempelkan liptin di bibir manisnya, saat Ali beranjak ke sana ternyata bayangan itu hilang. Lagi-lagi halusinasi.
Kembali berjalan ke arah meja tv, membuka kotak itu. Mengambil tali yang cukup panjang. Menatap ke atap, di sana ada gantungan yang dulu Prilly pakai jika sedang marah dengan Ali, wanita itu akan mengambil kain dan menutupnya dengan cara tali di ikat di kain dan menutupi sisi ranjang tidur Ali.
Lelaki itu tersenyum tipis, ia berjalan perlahan. Rumah sedang keadaan sangat sepi. Deli sedang menebus obat Ali karna obatnya sudah habis, papahnya sedang bekerja menggantikan Ali, Varo sedang sekolah, sedangkan Siska sudah pergi ke klinik anak untuk imunisasi Illy dan Lilly.
Melihat buku Prilly yang selalu ia baca jika merasa sepi jika istrinya itu tidak ada, menulis beberapa kata waras yang ada di otaknya dengan raut wajah bahagia. Ia akan bertemu dengan wanitanya.
Melirik tali itu lagi. "kita akan bertemu sayang." gumamnya dengan pelan, mulai memasang tali itu.
Saat sudah terbentuk, ia memasukkan tali itu ke lehernya. "selamat tinggal." setelahnya ia menjatuhkan diri dari atas kasur. Membuat tubuhnya menggantung dengan mata yang tertutup, juga dengan tangan yang memegang tali itu agar tercekik dengan kerasnya.
Kini ia tak lagi sendiri, Ali putra Argantara. Memilih mengakhiri hidupnya sendiri, ia memili pergi. Menemui pendamping hidupnya. Mungkin ini jalan yang membuat Ali bahagia, ia meninggalkan sejuta luka. Memang Ali egois sangking egoisnya ia memilih keputusannya sendiri tanpa memikirkan apa dampaknya.
***
End.
Tunggu extra partnya ya! Jangan lupa vote n komen! Follow juga. Bye!
KAMU SEDANG MEMBACA
Reinkranasi 1/2 [end]
Non-Fiction[spin of Mr. Ali] (story Ali-Prilly) Reinkranasi, adakah itu? Sebuah keercayaan bagi sebagian manusia. Tapi tidak untuk seorang CEO muda Alirendra argantara, pemilik perusahaan Rendra corp. Suatu hari saat di kantor, lelaki itu sedang memikirkan se...