38. Bubur ayam

441 25 0
                                    

Aidan kali ini sedikit termenung. Wafa, istrinya itu sedang ngidam. Mau tau ngidamnya apa? Bubur ayam, yang ditengahnya diberi kuning telor setengah matang.

"Itu lhoh, A'. Jadi tuh bubur ayamnya itu, di tengah-tengah ada telor kuningnya. Tapi masih setengah matang. Terus teh, di atas telur kuningnya, dikasih bubur lagi, A'," jelas Wafa.

"Emang ada, ya?" tanya heran Aidan.

"A'a yang buat," balas Wafa dengan santainya.

Aidan tersenyum. "Oke, A'a bakal nyoba buatin. Tapi bubur ayam aja. Kuning telurnya ngga usah nggapapa ka?" Wafa mengangguk. Kemudian Aidan berjongkok untuk memegang perut Wafa yang sudah membuncit. "Anak Ayah yang sabar, ya? Ayah nyoba buatin, okay?" Oke, katakanlah Aidan aneh. Tapi, hal ini yang sering Aidan lakukan. Mengobrol dengan anak mereka yang masih dalam kandungan.

"Iya, Ayah," jawab Wafa dengan suara anak kecil.

Aidan terkekeh pelan, kemudian bangkit untuk mengacak rambut Wafa. "Gemes banget Masya Allah, yang."

"A'a, ih. Rambutnya kan jadi berantakan," rajuknya.

"Kamu duduk disini aja," sahut Aidan

"Kenapa A'?" heran Wafa.

Aidan meringis ngilu, "Aku kasihan lihat kamu jalan sambil bawa perut besar gitu, Yang. Ngilu," jujurnya. Wafa yang mendapat respon seperti itu hanya tertawa pelan. "Nggapapa. Yuk," ajaknya.

Aidan tetap menggeleng. "Nanti kamarnya pindah di bawah aja ya? Kasihan kamu, Yang."
Wafa mengangguk patuh, tangannya mengelus lembut rambut Aidan yang mulai panjang. "Dipotong rambutnya, A'. Udah panjang itu."

"Siapp bu bos!"

Aidan Al-Efasy Pratama

Gue sebenarnya lumayan bisa buat bubur ayam. Lumayan yah. Ngga bisa bisa amat sih. Tapi bolehlah kalau mau nyoba.

Dan akhirnya, gue berperang dengan alat dapur yang lumayan akrab dengan gue. Ahaha.

Sembari masak, sekalian caper ke bini. Istri gue itu makin nambah cantiknya kalo hamil. Jadi ngga sabar nunggu anak gue lahir. Bentar lagii woilahhh.

"Tadaaaaa. Alhamdulillah udah jadi dehh," ucap gue dengan girang. Setelah gue coba sedikit, rasanya enak kok! Dan mudah-mudahan, bini gue juga suka, ya.

Wafa menerima bubur buatan gue, dan langsung nyoba. Dalam hati dag dig dug guenya. Ahaha lebay banget dah.

"Wahhh, Masya Allah. Enak A'! A'Aidan mau ngga?"

"Alhamdulillah. Ngga usah, buat kamu aja yang."

"Oh iya yang," sahut gue setelah Wafa berhasil menghabiskan bubur buatan gue.

"Gimana A'?"

"Bang Rafanza kemarin sempat cerita ke aku," curhatku.

Wafa mengangguk paham. "Bang Rafanza itu pengen punya anak, A'."

Gue balas mengangguk. Kalau dipikir-pikir, bang Rafanza itu hebat banget, asli!

"Bang Rafanza sebenarnya udah nikah. Mereka dikaruniai anak setelah 4 tahun pernikahan. Tapi Qadarullah, istrinya meninggal disaat hamil muda," curhat balik Wafa.

Gue ngga bisa membayangkan itu kalau terjadi ke gue. Bang Rafanza, Farhan, sama-sama hebat. Ayah sama Bunda juga. Mereka berhasil mendidik anak-anaknya untuk tabah dan ikhlas menerima. Dan mudah-mudahan, gue juga bisa menjadi orang tua seperti itu. Seperti Ayah, Bunda, Abi dan Umi. Bagi gue, mereka orang tua terhebat yang pernah gue temui.

"Jarak umur aku dengan bang Rafan, 6 tahun. Umurku 22 tahun, dan abang, 28 tahun. Abang itu, gimana yah. Sukanya nyembunyiin luka. Tapi kalau sama aku, dia berani cerita. Aku yang maksa sih. Bukan maksa juga. Kalau abang semakin mendam kayak gitu, kasihan. Jadi aku dengan sukarela pun jadi tempat cerita abang. Kami sekeluarga ngertinya abang itu pelawak. Suka bercanda. Tapi dibalik itu, ada luka yang terpendam."

Gue...Ya Rabb. Ngga bisa berkata-kata lagi. "Ya Allah.." dan hanya itu yang bisa gue katakan.

"Bang Rafanza hebat, yah," imbuh gue.

"Iya, beneer," balas Wafa dengan raut sedih.

Karena ngeliat itu, gue coba mengalihkan topik ini. "Eh yang. Nanti aku mau ke restoran bentar, ada beberapa hal yang harus aku selesaiin. Kira-kira kamu mau ikut ngga?"

"Aku di rumah aja nggapapa, A'?" tanya Wafa. Gue menimbang nimbang dulu. Takut terjadi apa-apa ke Wafa.

"Aku panggil Umi, yah?" saranku dan diangguki dia. Langsung aja gue telpon Umi dan Abi.

Setelah beberapa menit, Umi dan Abi udah nyampe. Ngga usah nunggu beberapa jam. Karena jarak rumah ini sama rumah Abi hanya beberapa meter. Masih satu komplek juga.

"Abi, Umi maaf ngerepotin. Mau minta tolong titip istri Aidan, yah."

"Heleh, kayak sama siapa aja. Gapapa."

Gue mengangguk pelan. Kemudian mendekat ke Wafa. "Istriku, aku pergi bentar yah. Bentar doang kok. Ngga nyampe dua jam," pamitku. Aihhh, gue ngga bisa jauh-jauh dari Wafa!

"Iya, A'a. Pelan-pelan aja jangan ngebut," pesannya, kemudian mengambil tanganku untuk disalami.

"Ya udah, aku berangkat dulu," gue berjongkok, "Anak ayah, jaga bunda yah. Ayah pergi bentar kok," pamit gue. Tangan gue memegang halus perut Wafa yang udah membesar. Sebentar lagi, Masya Allah. Ngga sabarr gueee! Sebulan lagi. Okay Aidan, sabar.

"Assalamu'alaikum semuaaa."

"Wa'alaikumussalam. Fii Amanillah ayah."

Gue berjalan meninggalkan pekarangan rumah.

"Berbunga-bunga hatikuuuuuuuuuuuu."

🌻🌻

Assalamu'alaikum..

Jazakumullahu khairan katsiran yahh.

Langkah Sebuah Cinta-LSCTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang