17. Satu Ciuman untuk Sebuah Janji

914 119 76
                                    

Ujian akhir semester sedang berlangsung. Waktu bergulir begitu cepat, rasanya baru kemarin aku sekolah di jenjang SMA, memakai seragam putih abu-abu lalu bertemu dengan banyak orang salah satunya Jay Zanneth Adiputra—yang kini telah tinggal bersamaku di kontrakan sederhana dekat dari sekolah. Meski kami belum menjadi suami-istri yang sah di agama, Jay memutuskan untuk membuat skenario ini—bermodalkan surat nikah palsu dan cincin, pemilik kontrakan akhirnya percaya dan memperbolehkan aku tinggal bersama Jay—walau kebimbangan tercetak di wajahnya serta wajah para tetangga.

Jay ngotot buat hidup mandiri. Dia menolak rumah maupun fasilitas lain yang ditawarkan Papa atau Pak Langga. Dia berpikir sudah saatnya belajar menjadi dewasa; tidak bergantung pada orang lain apalagi menjadi sebuah beban. Dengan keberaniannya itu, sekarang aku sudah merasakan bagaimana rasanya menjadi seorang istri yang harus mengikuti ucapan suami. Membuat makanan, membersihkan rumah, dan menggosok pakaian adalah rutinitasku selama tinggal bersama Jay.

Aku sendiri resmi keluar dari sekolah tiga hari yang lalu. Semua orang sudah tahu bahwa aku hamil dan lingkar pinggangku yang semakin melebar membuatku harus rela menanggung konsekuensinya. Aku masih ingat, saat malam itu aku sudah berjanji tidak akan lari dari tanggungjawab. Kehilangan masa-masa remaja memang menyakitkan, tapi aku yakin jika aku masih memaksa diri untuk sekolah, akan semakin dalam tusukan tak kasat mata yang menghunus hatiku. Sejauh ini aku berhasil menebalkan muka, maka tak akan kubiarkan siapapun menggoyahkan pendirianku.

Dikarenakan aku bukan seseorang yang populer di sekolah, kepergianku seperti angin lewat saja. Mereka menatapku masih sama seperti biasanya. Akan tetapi, untuk Weri dan Bobi adalah pengecualian. Mereka menangis persis seperti melepaskan sang sahabat yang akan pergi ke luar negeri selama bertahun-tahun, padahal nyatanya jarakku dengan mereka hanyalah dua kilometer. Yap, pertemanan kami memang se-absurd itu.

"Kalau lo di KDRT-in sama dia, lapor cepat ke gue, ya?! Biar gue kasih cubitan berbisa dari jari lentik gue!"

"Gue nggak mau lo sakit hati. Gue selalu berharap lo hidup bahagia, karena udah cukup selama ini lo merasakan sakit, Ning."

Dua pesan itu yang tak akan pernah kulupakan dari mereka berdua. Aku tersenyum kecil saat melihat foto kami bertiga yang saling tersenyum lebar dan terpampang di atas kulkas.

"Bening sayang... waktuku mepet nih, kayaknya nggak kekejar kalau nunggu kamu ngupas buah dulu."

Dengan cepat aku mengambil pisang dari dalam kulkas lalu kembali mendekati Jay yang duduk di kursi makan. Kebiasaannya jika sudah makan adalah mengonsumsi buah, tapi hari ini aku lupa tentang itu.

Jay mengambil pisang yang aku bawa lalu mengupasnya secara cepat.

"Kamu kangen ya sama dua sohib kamu itu? Kalau iya ajak aja mereka ke sini." Jay menatapku. "Kamu ngeliat foto itu cukup lama tadi."

Ternyata Jay menotisku. Aku tersenyum malu. "Emangnya kamu nggak terganggu kalau mereka ke sini?"

Jay menggeleng. "Nggak. Toh kemarin-kemarin mereka juga sering nanya kamu ke aku di sekolah. Aku sih nggak masalah asalkan si cowok jadi-jadian itu nggak sembarangan pegang apalagi peluk kamu."

Aku terkekeh. Jay masih saja membenci Bobi. "Nggaklah. Dia juga tau batasan kok, Jay."

Jay meletakkan kulit pisang ke atas piring lalu meminum susu kesukaannya sebelum mengambil ranselnya. "Sekarang hari terakhir ujian. Doain aku ya supaya dapat peringkat satu."

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang