18. Kenyataan Pahit

745 114 23
                                    

Note: awas jantungan! 🌚

-

Aku tersenyum ketika merasakan sebuah tendangan untuk kali pertama dari dalam perutku. Mereka anakku, yang hadir membawa kebaikan di setiap waktu yang merangkak pelan. Karena mereka, aku tak pernah merasakan kesepian. Ini sungguh anugerah terindah dari Tuhan. 

Sejak tadi aku bercengkrama dengan anakku. Meski tak ada suara apa pun, aku bisa paham bahwa mereka sangat gembira bermain di sana apalagi saat aku mengonsumsi susu. Mereka juga bilang semuanya tampak baik-baik saja. Terdengar absurd memang, tapi begitulah kenyataannya. Hanya perempuan yang dapat memahami perkara ini. Aku sudah tidak sabar melihat mereka, memastikan apakah mereka memiliki ketampanan seperti Jay atau bahkan lebih sempurna dari ayahnya.

Dokter bilang mereka sudah sebesar buah mangga, sehingga aku harus lebih rajin jalan-jalan kecil sekitar komplek minimal sehari sekali dan mengurangi melakukan pekerjaan yang berat. Aku mengiakan permintaan dokter itu. Maka, sore ini, saat aku hendak pergi jalan-jalan keluar, sebuah Fortuner berhenti tepat di depan gerbang. Aku langsung mencengkeram sisi blus yang kukenakan karena itu adalah Pak Langga.

"Bening, kamu mau ke mana?" Pak Langga memindaiku saat telah berada di hadapanku.

Aku refleks menyalim tangannya. "Aku mau keluar jalan-jalan, Pa."

"Ada sesuatu yang mau saya bicarakan. Ayo masuk sekarang."

Aku mengangguk, membuka pintu lalu masuk dan mempersilakan ayah mertuaku duduk di sofa ruang tamu. Aku segera ke dapur, ingin membuat minuman hangat untuknya. Jay pernah bilang, ayahnya itu suka sekali teh hijau less sugar. Kemarin, saat aku dan Jay berbelanja di minimarket, sengaja aku membeli dua stok sekaligus hanya untuk Pak Langga.

"Jay sedang sibuk di kelas akselerasi, ada esai ilmiah yang harus diselesaikan dalam Minggu ini untuk menunjang diterimanya di kampus Ivy League. Kamu tahu kalau Jay sangat ingin kuliah di Harvard, kan?"

Sejenak tanganku berhenti mengaduk teh di dalam gelas. Aku tersenyum sambil menjawab, "Iya, Pa. Dia ingin sekali kuliah di sana, jurusan teknik mesin." Benar, Jay suka sekali dunia otomotif. Pernah sekali aku lihat riwayat YouTube-nya, yang isinya penuh dengan berbagai macam mode pembongkaran kendaraan.

Aku mengambil kotak cookies dari lemari es, lalu membawanya ke hadapan Pak Langga.

"Ada apa memangnya, Pa?"

Aura dingin dari Pak Langga tak pernah berhenti mengudara. Aku selalu merasa terintimidasi. Dia menyeruput teh buatanku sebelum berkata lebih.

"Jay masuk waiting list, nilainya tidak cukup mencapai target yang diinginkan, meskipun esainya sempurna. Satu semester kemarin benar-benar membuatnya gagal."

"Berarti dia tidak lulus, Pa?" Aku mencoba menekankan maksud ucapannya.

Pak Langga mengesah. "Iya, tapi ada seseorang yang bersedia untuk menggantikan posisi itu. Dia rela memberikan kesempatan pada Jay agar diterima di sana."

"Siapa?"

"Surya. Dia bilang, dia tidak mampu untuk ke luar negeri karena dia butuh perawatan berkelanjutan untuk sakit yang dideritanya." Pak Langga menatapku lama. "Sebagai seorang ayah mereka, saya hanya ingin salah satu dari mereka bisa melanjutkan kuliah di sana, jadi—"

"Pa, aku tidak bisa membuat keputusan jika Jay belum tahu kenyataannya." Aku memotong pembicaraan karena sudah yakin apa tujuan ayah mertuaku datang ke sini.

Intinya dia ingin aku dan Jay saling berjauhan, tanpa memikirkan status kami yang sudah menjadi sepasang suami-istri serta aku yang sangat membutuhkan figur suami. Tentu, bagi seorang Langga hal ini sangat dia butuhkan demi menjaga gengsi.

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang