24. Malam Penyiksaan

870 99 33
                                    

Kalau bukan karena bokap sama Om Wirya, gue udah pasti ninggalin semua ini berikut perasaan gue yang merekah pada gadis bertubuh sintal itu. Dari awal gue mencintai dia apa adanya, berharap umur gue habis bareng dia dan anak-anak gue. Asal kalian tahu, setiap malam gue selalu ingin berada di dekatnya, menyembunyikan kepala ke lengkuk lehernya, menghidu aromanya yang manis. Tapi, ketika kenyataan mematahkan ambisi gue, di saat itu juga gue jadi benci dengan semuanya. Termasuk dia yang nggak jujur pada gue. Malah, terkesan memaksa gue untuk jadi miliknya.

Gue sadar saat di telepon waktu itu gue udah kasar banget sama dia. Nggak sepatutnya gue bicara seperti itu. Amarah gue bener-bener meledak sampai sekarang. Rasa nggak ikhlas menerima bahwa anak yang dia kandung bukan anak gue membuat gue kacau, nge-blank, pengin nonjok orang-orang yang udah melibatkan gue ke dalam lingkar setan ini. Lalu sekarang yang gue pikirkan hanyalah mencari cara agar menjauh darinya. Pilihan tepat banget kalau gue pergi ke luar negeri.

Itulah kenapa saat gue udah jadi suami sah buat dia di Gereja, gue seperti meraup oksigen sekencang mungkin. Gue mau mengistirahatkan pikiran gue lalu menghambur ke pelukan mama. Dulu, waktu gue ada masalah, satu-satunya orang yang gue temui cuma mama. Nggak ada obat terbaik dari setiap permasalahan selain nasehat yang dikasih mama.

Di sana, entah di tempat yang seperti apa, katanya mama sedang mengalami hari-hari yang sulit. Gue harus bersama mama, gue mau mendekap ke pelukannya.

Dua jam waktu habis mengadakan pernikahan private di Gereja lalu kedua keluarga berkumpul di restoran paling mewah yang ada di Jakarta. Gue nggak nyangka banget ternyata Ning punya Tante dan Om dari kalangan high class. Tante Sulli seorang pemilik stasiun televisi paling besar di Indonesia, Om Jero adalah koki terbaik di Italia yang sekarang benar-benar menyisihkan waktu untuk merayakan pernikahan gue sama Ning. Belum lagi Tante Eliza, Om Kurnia, dan beberapa anak-anak beliau yang cantik dan tampan semua. Kayaknya Ning emang memiliki garis keturunan bangsawan—dibuktikan dengan bagaimana tampilannya malam ini.

Gue nggak ngerti apa yang dia pakai, tapi intinya dia cantik banget dengan gaun putih ditambah aksesoris yang melekat di kepala dan lehernya itu. Dada gue berdegup kencang sampai sekarang.

"Saya bersama saudara-saudara saya sudah membelikan rumah dan mobil mewah buat kalian berdua," ucap Tante Sulli tiba-tiba sembari mengeluarkan dua kunci lalu meletakkannya ke atas meja, menatap gue. "Kami tahu bahwa Bening hamil di luar nikah, tapi kami harap kamu—sebagai suami—selalu mencintainya, menjaganya, dan menghabiskan kebahagiaan berdua bersamanya. Kakek buyut saya pasti sedang tersenyum sekarang di atas sana bahwa ternyata anaknya, Si Wirya yang dulu lebih suka menunggangi kuda dari belajar itu ternyata telah melahirkan anak yang begitu cantik dan kuat. Kepada kamu, Jay, bisakah memenuhi permintaan dari kami?"

Bukannya gue nolak dengan pemberian itu. Bagi gue kekayaan nggak berada di top list hidup gue. Makanya gue nggak begitu senang saat mereka memberikan kemewahan-kemewahan itu untuk kehidupan gue sama Ning. Percayalah, gue lebih suka berjuang dari awal. Merintis sebuah usaha dari nol itu merupakan tantangan yang menggugah nafsu gue buat hidup.

Gue melirik pada Papa. Jelas banget dia sangat senang dengan kenyataan ini, karena dia nggak perlu khawatir lagi kalau kekayaannya berkurang untuk kehidupan gue sama Ning.

"Saya—"

"Jay ingin pindah sekolah ke luar negeri, Tan, Om. Dia akan pergi dalam Minggu ini." Ning memberitahu, membuat mata-mata kucing itu menuding gue dengan tatapan what-the-fuck? "Tidak apa, aku—"

"Alasannya apa?" tanya Om Jero setelah menenggak anggurnya. "Itu berarti kamu akan meninggalkan Bening di saat seharusnya kalian merasakan malam-malam penuh keringat?"

Tante Eliza tertawa pelan. "Bahasa kamu sungguh bermajas, Jer. Hampir saja aku memikirkan yang nggak-nggak."

"Bukankah nyatanya begitu? Mereka harus sering menyatu agar Tuhan Yesus memberkati kehidupan mereka."

Semua tatapan kembali mengarah pada gue. Gue berdehem terlebih dahulu. "Saya dikeluarkan dari sekolah, Om. Saya telah menjadi aib di tempat kebanggaan ayah saya sendiri. Saya bocah nakal, Om. Sudah sering saya melakukan pelanggaran di sana. Maka dari itu, saya dipindahkan keluar negeri. Karena hal lain, mama saya di sana. Dia membutuhkan saya."

"Bagaimana mungkin pemilik yayasan sekolah tidak mengandalkan kekuatan yang dimiliki sendiri? I mean, Bapak yang punya sekolah, seharusnya Bapak tidak mempermasalahkan kesalahan yang diperbuat anak Bapak, dong?" Tante Sulli tertawa. "Saya sungguh kaget dengar kenyataan ini. Itu privilese. Bukan malah anak sendiri yang disingkirkan dan dianggap aib. Jika jadi Bapak, saya nggak akan sudi mengeluarkan anak saya di sekolah milik saya pribadi."

Langga tersentak. Gue yakin di dalam benaknya lagi mencaci maki, terlalu malu berhadapan dengan manusia-manusia elite ini.

"Saya berperan menjadi direktur harus bersikap adil bagi semuanya. Sekolah memiliki aturan. Saya pun—"

"Itu sama saja dengan rumah kotor karena Jay, lalu bukannya Bapak bersihkan malah Jay yang Bapak tendang dari sana."

"Sudah berulangkali saya bersihkan. Jay terlalu nakal."

"Oh iya, saya baru ingat pernah ada stasiun televisi sebelah yang meliput berita trivial itu. Tapi, setahu saya, Bapak bukannya menyelamatkan anak bapak, tapi Bapak menyelamatkan reputasi Bapak sendiri." Tante Sulli bersiap akan mengoyak Langga.

"Woah? Benarkah ada liputan berita seperti itu? Lantas apa kata penonton dan penggemar Jay?" Om Kurnia bertanya setelah makanannya habis.

"Tentu, mereka tunduk dengan kewibawaan dan ketampanan Langga." Kali ini Om Wirya bersuara. "Sebenarnya kamu tidak bersikap individualis terhadap anak sendiri, Langga. Senakal-nakalnya Jay, sampai kapanpun dia masih jadi tanggungjawabmu."

Kami semua terdiam. Benar banget apa yang barusan ayah mertua gue ini katakan.

Hela napas berat keluar dari mulut Langga. "Kalau begitu, saya serahkan pilihan pada Jay. Toh ini kesepakatan saya dengannya." Langga menatap gue dengan alis terangkat sebelah. "Bagaimana Jay? Apakah kamu ingin ke sana untuk sekolah sampai lulus SMA atau di sini saja?"

Gue tertawa dalam hati. Gila, semua pihak saling melempar ultimatum. Sejujurnya, gue pengin menemui mama, tapi karena keluarga Ning jelas nggak setuju dengan pilihan itu, gue nggak punya pilihan selain menuruti keinginan mereka.

"Bagaimana bulan madu kami ke London? Intinya saya ingin bertemu mama saya, Om, Tan. Saya rindu dengannya. Maka, izinkanlah kami berdua pergi ke sana untuk beberapa hari saja. Dan masalah sekolah, saya akan tetap di sini."

***

"Hebat banget keluarga lo."

Setiba kami di rumah yang dibelikan saudara-saudara Papa dan setelah para kurir meletakkan barang-barang di tempat yang kami tunjuk, malamnya, Jay mengunci pintu kamar. Seperti yang telah aku tebak, malam ini aku akan merasakan hal-hal pahit dari mulut Jay.

"Orang-orang otoriter kayak mereka nggak sebanding dengan kemiskinan keluarga gue. Jadi itulah kenapa Langga bisa tunduk segampang itu sama mereka."

"Kamu mau marah?" tanyaku setelah mengganti bajuku dengan baju tidur.

"Oh, tentu nggak. Gue cuma salut aja, ternyata istri gue punya keluarga dari kalangan paling tinggi. Di atas langit masih ada Wijayanto, itu kali ya istilahnya?" Jay tertawa. Kemudian dia merebahkan tubuh ke atas kasur.

"Maaf jika itu bikin kamu nggak enak. Aku minta maaf dengan semuanya."

Jay tersenyum. "Sini," katanya. "Ayo tidur. Sekarang gue udah resmi jadi suami lo. Gue udah resmi jadi cowok yang lo mau. Maka, ayo kita habiskan malam ini dengan sangat khidmat."

Aku ragu, pasti ada sesuatu yang disembunyikan Jay.

"Bening... gue nggak marah. Gue udah lupain semuanya. Tentang Surya juga, gue udah masa bodo. Bagi gue sekarang adalah menikmati masa tua bersama lo, kan? Membunuh impian gue, menyingkirkan keinginan gue untuk bertemu mama. Gue cuma harus hidup dalam aturan yang keluarga lo buat. Dengan begitu, hidup kita berdua akan baik-baik aja. Bukankah begitu?"

"Jay, aku minta maaf."

Jay bangkit dari tidurnya lalu tanpa kuduga, dia menghampiriku lalu menampar wajahku. Setelahnya, dia melempar tubuhku ke atas kasur dengan sangat kasar.

Malam ini, dia berhasil membuatku sadar bahwa sampai kapanpun aku hanyalah sesuatu yang menjadi alasan kehidupannya kacau.

"Lonte keparat, bajingan, sialan!" serunya sambil menyiksaku di dalam ruangan itu.

***

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang