2. Ditolak

2.4K 298 87
                                    

“Cinta itu serupa api, dia bisa membara dan padam dalam waktu yang tidak bisa ditentukan.”


Bening

Untuk kali pertama, aku sangat membenci sosok Jay.

Kesalahan yang dia perbuat seakan bukan kesalahan. Dia selalu menulikan etika. Di imajinasinya mungkin hidup hanya untuk main-main makanya dia selalu out of control. Berulangkali aku bertanya pada Bobi, apakah Jay sudah meminta maaf padanya, tapi ternyata setelah tiga hari pun, Bobi tidak pernah mendapatkan kata itu. Bobi cuma diberi sepeda ganti yang baru serta beberapa album Twice.

Tiga hari Jay tidak masuk sekolah. Jadi, aku lumayan kepikiran. Apa yang sedang terjadi? Kawan-kawan sekelasnya bilang Jay tidak memberi kabar sama sekali. Kali terakhir aku melihatnya saat kami berkonfrontasi di belakang sekolah. Meskipun aku kesal, jiwa peduliku padanya tak akan pernah luntur.

Keesokan hari, di saat sekolah masih sepi, aku berlari ke ruang direktur sekolah. Pagi-pagi sekali aku ke sana, berniat bertanya apa yang terjadi pada Jay. Aku yakin Pak Langga tahu kondisi anak kandungnya itu.

Aku menarik napas, membuangnya perlahan. Ruangan Pak Langga telah di depan mata. Belum sempat tanganku mengetuk pintu, suara pecahan kaca langsung memicu degup jantungku.

"ANAK SIALAN! LEBIH BAIK MATI SAJA KAMU DARIPADA HIDUP SELALU MENYUSAHKAN SAYA!"

"OKE, GUE BAKAL MATI HARI INI JUGA! GUE NGGAK SUDI PUNYA BOKAP KAYAK LO!"

Senyap.

"URUS AJA SANA ANAK KESAYANGAN LO! MENDING GUE BUNUH AJA DIA SEMALAM, KAN? BIAR LO CUMA BISA LIHAT GUE! BIAR LO CUMA PEDULI SAMA GUE!"

Setelah teriakan itu, pintu ruangan terbuka. Aku yang tidak sempat berlari otomatis langsung bersitatap dengan Jay. Wajahnya merah karena amarah, tapi aku melihat jelas air mata di pipinya sebelum dia mengusapnya dengan kasar.

"Jay... aku mau—" Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Jay lebih dulu menarik tanganku. Aku menurut saja, mungkin karena aku merasakan betapa perih luka yang ada di hati Jay. Ternyata Jay tidak seperti yang terlihat. Dia dididik oleh sosok ayah yang kejam.

Mengenai kedekatan Pak Langga dengan Surya, seantero sekolah tahu. Surya sudah seperti anak kandung Pak Langga, karena beberapa kali Surya datang atau pulang bersama Pak Langga, sedangkan Jay selalu pakai Ruby V250 berwarna metalik.

Jay membawaku ke dalam kelasnya. Belum ada murid yang datang. Dia mengambil beberapa buku dari dalam tas sebelum menyodorkannya padaku. Gelang pemberianku masih melingkar di pergelangan tangannya. Buku-buku tulis itu masih terlihat baru sehingga aku tahu apa yang harus kulakukan.

"Kerjain catatan gue semua."

"Catatan apa?"

"Itu semua pelajaran. Lo tau sendiri gue terkenal pemalas catat materi, kan?"

Guru-guru sering mengatakan itu.

"Tapi kalau ada yang tau tulisan di buku kamu bukan tulisan kamu, gimana?"

"Lo aman. Jangan pikirin itu."

Aku mengangguk. "Kamu... baik-baik aja?"

Pertanyaan bodoh itu meluncur begitu saja. Jay langsung intens menatapku, membuatku salah tingkah lalu menyembunyikan sejumput rambut ke balik telinga. "Maaf. Emh—oke, akan aku selesaikan secepat mungkin. Aku permisi dulu."

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang