27. Panas (21+)

2.4K 104 33
                                    

Gue harus bertindak. Gue harus sembuh. Gue harus sadar kalau Ning terluka karena amarah gue yang nggak kekontrol. Setiap tangan gue yang melayang di sekujur tubuhnya, setiap tangis yang keluar dari matanya yang indah, gue paham semuanya ulah gue. Skizofrenia yang merenggut otak gue sejak tiga tahun lalu itu kembali aktif, menghancurkan gue serta hubungan dengan istri tersayang gue.

Hidup ini terdiri atas banyak pilihan, bukan? Terlebih gue laki-laki, harus tegas pada prinsip hidup. Jika memang awalnya gue ingin memperbaiki diri—menyenangkan Langga untuk jadi lebih baik, tapi kalau emang gue nggak harus menjadi 'itu', gue nggak boleh egois. Banyak jalan untuk pergi ke Roma, artinya bukan cuma satu jalan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Ada sebuah tanggungjawab lain yang harus gue jalani semaksimal mungkin. Setiap tindakan yang kita ambil, akan selalu ada konsekuensinya. Dalam hal ini, gue rela meninggalkan semua cita-cita gue untuk sekolah di London dan menemui Mama hanya untuk tetap di sini, menjadi seorang suami Bening. Persetan Ivy League, lagipula mereka juga nggak akan menerima cowok rusak kayak gue, 'kan?

"Bro," panggil gue pada perawat cowok bernama Hestu, yang sedang berjaga malam di ruangan ini. "Lo udah nikah?"

Hestu terbahak. "Ada apa emangnya?"

"Kita cowok. Kita butuh dimengerti oleh kasih sayang seseorang yang kita cintai, 'kan? Apalagi orang kayak gue, pasti harus banget diperlakukan selembut mungkin—persis waktu lo nganter makanan ke kamar gue, bahkan mau nyuapin gue—"

"Itu karena kepala kamu bocor dan fisik kamu lemah, kalau bukan karena itu saya nggak akan ngantar makanan ke kamar kamu dan menyuapkan kamu."

"Tapi sekarang udah sembuh dan gue masih ingin diperlakukan selembut mungkin."

"Jay, saya bukan homo."

Gue terkekeh. "Maksud gue, ah—you know, boleh nggak gue bawa istri gue ke sini?"

"Dan kalian akan bercinta di atas ranjang dengan kamera CCTV yang merekam apa yang kalian lakukan setiap detik?"

"Gue bakal suruh dia bawa mobil."

Hestu menyipit. "Lo sehorny itu sekarang?"

Gue mengangguk. "Iya. Lo pasti ngerti gimana rasanya saat lagi di posisi ini."

Hestu menatap tubuh gue dari atas sampai bawah, dan gue buru-buru mendorongnya. Dia tertawa sembari melihat sekeliling.

"Ya udah, suruh dia ke sini."

Gue mengangguk. "Bisa gue pake ponsel lo? Batrai ponsel gue abis."

Hestu mengangguk lalu memberikan ponselnya, membuat gue mengucapkan terima kasih. Gue kembali ke kamar, mencoba menghubungi Bening.

Istri gue pasti tahu kalau perawat meneleponnya, pasti ada sesuatu yang penting. Makanya dia jawab cepat begitu gue panggil.

"Halo? Kak Hestu? Ada apa? Kondisi suami saya bagaimana, Kak?" Ning masih menganggap gue suaminya dan itu entah kenapa membuat gue masih dihargai.

"Ning, ini aku. Suami kamu."

Jeda selama sedetik.

"Jay? Kamu nggak tidur?"

Matahari Sebelum Pagi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang