Dari rate 1-10, angka berapa yang saat ini menunjukkan rasa cintaku pada Jay?
Dua. Ya, kalian nggak akan percaya betapa jujurnya aku sekarang. Satu poin karena dia telah sadar atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat—nggak memungkiri dia akan kambuh, satu lagi karena memang aku akan membutuhkannya sebagai ayah Jevais.
Hanya itu.
Ucapannya yang menyalahkanku atas kepergian Januar membuatku sulit untuk berkonsentrasi. Bagaimana bisa dia—yang sangat jarang bahkan bisa dikatakan tidak sama sekali berkontribusi terhadap proses perkembangan janinku hingga menjadi bayi, selembut itu bibirnya menghakimiku? Di mana letak wibawanya sebagai seorang suami? Jika dipikir-pikir ini akibat sakitnya, aku berani bersumpah bahwa dia sadar seratus persen karena memang ucapannya tidak ngawur. Dia sudah sembuh. Dia mampu mengolah emosinya. Dia juga kenal dengan orang-orang yang hadir di rumah malam itu.
Aku menguatkan hatiku sendiri atas lembut-rendah suaranya yang terngiang-ngiang di kepalaku.
Mungkin aku tidak akan over membencinya jika bukan karena aku yang sudah sangat mengharapkan dua jagoanku lahir dengan banyak persiapan yang telah aku lakukan: mulai dari merenovasi kamar sebelah yang awalnya kamar Jay menjadi sebuah kamar bayi dengan memiliki dua tempat tidur mini yang bersebelahan serta nuansa kamar seperti berada di little zoo. Dibantu dengan Felix, anak Tante Eliza serta Surya—tentu, sahabat aku itu selalu ada di setiap aku butuh bantuan—dua minggu sebelum tragedi ini terjadi, kami mulai memasang wallstickers, menyusun perabot, memasang mobile hingga mampu menyulap kamar Jay menjadi tempat bermain dua jagoanku ketika bisa merangkak bahkan bisa berjalan. Membayangkannya saja aku sudah merasa gemas. Akan tetapi, aku tidak membocorkan hal ini pada Jay. Selayaknya seorang ibu yang menantikan kelahiran sang anak, aku rela membantu memaku bingkai-bingkai bergambar binatang saking semangatnya dan juga untuk memberikan surprise pada Jay bahwa aku bukanlah seorang istri yang cuma bisa bermalas-malasan di rumah.
Aku ingin Jay bangga pada usahaku, tapi untuk sekarang menatap wajahnya saja aku begitu muak.
Dua minggu setelah Januar pergi, Jay akhirnya diperbolehkan rawat jalan hingga dia bisa tidur di rumah ini lagi—pembelian Tante dan Omku sebagai hadiah pernikahan kami. Sore tadi dia datang ke sini, diantar oleh ayahnya sendiri. Sejak dia datang, dia betul-betul berusaha untuk tersenyum saat menatapku. Mencari perhatian lebih tepatnya, dengan meladeniku seolah aku sama besarnya seperti Jevais. Tidak boleh mencuci piring, dilarang mengepel bekas air susu Jevais yang tumpah, bahkan mengambil makanan dalam kulkas aku dilarang.
Aku juga bisa bersikap makin dingin jika dia masih saja tidak sadar betapa fatalnya ucapannya kala itu padaku. Bukan hanya permintaan maaf yang aku inginkan, tapi juga dimengerti olehnya sampai selama-lamanya bahwa aku juga berduka panjang karena telah kehilangan adik Jevais.
"Jay, kita pisah ranjang aja ya?"
Jay yang sedang akan menyendok nasi sop kesukaannya ke dalam mulut jadi urung terlebih dahulu. Matanya membuka lebar. "Di hari pertama kita bisa seatap lagi?"
Aku mendengus. "Salahnya apa? Toh kamu nggak keberatan, 'kan?"
"Tapi kenapa?" Jay menatapku dengan damn puppy eye itu.
"Coba pikirkan baik-baik apa yang salah dari kamu." Aku meneguk segelas air setelah ditatap lamat olehnya.
Tidak lama berselang, aku langsung mengalihkan pandangan lalu bergegas masuk ke dalam kamarku karena Jevais kembali menangis. Meninggalkan Jay yang masih saja tidak menyadari perkataannya kala itu yang melukai hatiku.
***
Bening marah.
Oh nggak, mungkin ini bisa dinamakan ngamuk dengan level tertinggi karena Ning nggak menyebutkan alasan spesifik kenapa dia marah. Lo pada pasti paham kalau marahnya perempuan lebih ganas daripada seekor harimau.
![](https://img.wattpad.com/cover/276637160-288-k118557.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Sebelum Pagi
Fiksi Remaja🔞(YOUNGADULT - ROMANCE) Jatuh cinta padamu adalah harap yang selama ini kudamba; berada di dasar hati; diselimuti oleh imajinasi liar yang semakin membara. Kita tahu, seharusnya kita saling mencinta dalam diam saja, tapi ternyata kita tak semudah...