Amore yang tadinya terkejut dan gemetaran karena hampir memakan racun tiba-tiba melepaskan pelukan ibunya. Dia penasaran dan berlari mengejar yang lainnya ke arah dapur utama kastil.
"Amore!" Ibunya yang khawatir berusaha menahan tangannya, tapi Amore lebih cepat dan berhasil lari.
Dengan tergesa-gesa Amore berlari menyusul Gavel dan yang lainnya. Namun saat sampai disana suara kegaduhan dan jeritan terdengar.
Amore terbelalak kaget ketika sesuatu menggelinding dan menabrak kaki Kenneth yang tak jauh darinya. Itu kepala. Kepala dari seorang pelayan wanita dengan ekspresi penuh kengerian diwajahnya.
Hik!
Tanpa sadar kakinya lemas, namun dia tetap berdiri disana berusaha menahan ketakutannya.
"Jangan lihat." Gavel tiba-tiba menutupi pandangan Amore dengan tubuhnya. Amore menatapnya terkejut. Percikan darah menutupi wajah dan bajunya.
Melihat Amore yang gemetaran Gavel berusaha meraih tubuhnya, namun Amore menghindar. Gavel tak menyangka Amore akan bersikap seperti itu, dia menyangka kalau Amore sekarang takut padanya. Gavel menatapnya khawatir, dia telah membuat kesalahan lain hingga Amore takut padanya. Dia memaki dirinya sendiri karena tak berpikir lebih jauh sebelum bertindak.
"Kau penuh darah, menjijikan. Bersihkan dulu jika ingin menyentuhku." Amore menatapnya jijik.
Reaksi Amore yang berbanding terbalik dengan dugaan semua orang membuat mereka kembali tercengang, terutama Gavel. Kekhawatirannya selama ini sia-sia. Amore tidak takut padanya, tapi dia tak mau ikut kotor terkena darah.
Kenneth dan Alea juga menghela napas lega, dia kira hal ini akan membuat kakaknya trauma. Namun tidak sama sekali, karena Amore pernah melihat yang lebih buruk dari ini di ingatan Gavel.
"Bereskan semuanya." Perintah Marquis pada kepala butler dan kepala pelayan. "Dan Duke, tolong jangan bertindak seenaknya seperti ini lagi, ini wilayahku." Katanya dengan dingin, dia sangat kesal dengan tingkah Gavel yang melewati batas.
Gavel hanya diam, dia akan meminta maaf secara pribadi nanti. Saat ini hal pertama yang harus dilakukannya adalah membersihkan dirinya karena Amore terus menatapnya dengan jijik.
Karena insiden ini, makan malam itu terhenti, dan tak ada satupun yang sanggup melanjutkan makan mereka.
***
"Jadi, apakah pelakunya benar-benar Marquis Carden?" Amore bertanya penasaran pada adiknya Alea saat Amore mengunjungi kamarnya. Tak ada yang bisa Amore ajak bicara untuk membahas hal ini selain Alea. Gavel, Kenneth serta ayahnya tengah sibuk mencari bukti ran menekan Marquis Carden serta mengancam faksi Putra Mahkota karena insiden semalam.
"Aku tak yakin. Karena kakak dibenci banyak orang, jadi pelakunya berada diantara mereka." Alea tersenyum geli.
"Uh yah. Ini salahku karena terlalu terkenal." Amore meminum tehnya seraya meringis pelan mendengar pernyataan Alea. Dia menanggapi dengan cuek, lagipula itu memang kebenaran.
"Kudengar kakak makan sangat sedikit hari ini. Apa karena kejadian semalam?"
Amore menghela napas dan mengangguk, "Benar. Orang normal mana yang memiliki napsu makan setelah melihat kepala terpotong dan menggelinding di depannya? Hanya orang gila yang sanggup makan tanpa masalah."
Alis Alea berkedut, dia merasa tersindir atas kata-kata Amore, "Aku telah melihat itu puluhan kali saat berkonflik dengan bandit atau penyihir hitam. Jadi aku sudah terbiasa."
Amore menatapnya horor, "Tolong jangan terbiasa! Memangnya kau apa? Psikopat?"
Alea mendengus mendengar omelan itu, "Aku tak pernah membunuh orang, tapi aku menyaksikan orang-orang mati dihadapanku. Aku hanya menjatuhkan atau melumpuhkan saja, bukan aku yang bertugas membunuh."
Amore merinding menatap adik perempuannya. Amore tahu kalau Alea seorang petualang sekaligus penyihir sehingga dia selalu berurusan dengan bahaya. Namun dia tak tahu adiknya bisa sesantai itu mengatakan soal kematian. Apalagi umurnya baru tiga belas. Bagaimana bisa bocah itu memiliki mental yang lebih kuat darinya? Dasar sinting, bukankah dia sama saja dengan Gavel?
Amore memijit pelipisnya, merasa frustasi. Seperti yang diduga, tepat seperti didalam novel, hanya Kenneth lah yang normal diantara ketiga bersaudara itu. Dia merasa kasihan pada Kenneth yang memiliki seorang kakak sampah dan adik psikopat.
Semua yang dia alami selama ini sama sekali berbeda dengan apa yang dia baca. Semuanya melenceng ke jalur yang berbeda, dan dia tahu bahwa dirinya adalah alasan dari semua itu. Namun beruntunglah, hubungan Kenneth dan Violett seperti yang dinginkan Amore. Mereka sudah menjadi sepasang kekasih dan akan bertunangan. Namun, konflik dengan faksi Putra Mahkota dan Pangeran ketiga yang seharusnya berpusat pada Violett kini malah berpusat disekitar Amore. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, pria ketiga di dalam novel--Gavel-- yang seharusnya juga menyukai Violett kini malah tergila-gila padanya.
Putra Mahkota juga, seharusnya dia mengejar Violett. Namun kini tujuannya malah Amore. Amore tak tahu harus bersyukur atau sebaliknya. Dia bersyukur karena Walden tak ikut campur dalam hubungan Kenneth dan Violett, namun Amore merasa cemas karena Walden memiliki perasaan terhadapnya dan sebelumnya berniat untuk menjadikannya Putri Mahkota.
Bagi Amore, itu masalah besar. Karena di dalam novel, pertikaian antara dua faksi kedua Pangeran mencapai puncak ketika Violett terpilih sebagai Putri Mahkota, dan akhirnya kedua faksi itu bentrok dan menimbulkan banyak korban dikedua sisi. Lalu, itu membuat Kenneth memutuskan pilihannya untuk bergabung dengan faksi pangeran ketiga untuk merebut kembali Violett yang jatuh ke sisi Walden. Pada akhirnya faksi Walden kalah karena Marquis Bourche yang selalu berada diposisi netral bergerak mendukung pangeran ketiga. Walden kehilangan sebelah matanya akibat perang saudara itu, dan dia diasingkan keluar dari Myron setelah semua pengikutnya dibunuh atau dijebloskan ke penjara.
Lalu, kisah Gavel sendiri adalah yang paling tragis. Dia yang sebelumnya menculik Violett dan terobsesi padanya akhirnya sekarat tertelan kutukan yang tertanam ditubuhnya. Dia jatuh kedalam keputusasaan setelah Violett membencinya dan takut akan sosoknya. Dan pada akhirnya Kenneth membunuhnya dan membebaskannya dari rasa sakit kutukan itu.
Amore mendecakkan lidahnya dengan tak senang ketika mengingat kembali kisah asli novel itu. Dia mengutuk sang penulis, mengapa harus membuat akhir tragis untuk Gavel. Tak hanya itu, dia juga membuat karakter Gavel terlihat paling menyedihkan tanpa keluarga atau teman yang berada disisinya.
"Alea, apa benda terkutuk di tubuhku tak berbahaya?" Amore tiba-tiba bertanya.
Alea menatapnya sebentat lalu menggeleng, "Tidak semua benda terkutuk buruk. Salah satunya pedangmu. Artefak itu menjadi korup setelah dia berjuang mati-matian melindungi tuannya di masa lalu. Karena kematian tuannya, benda itu menjadi korup. Itu adalah artefak suci pada awalnya."
"Lalu bagaimana dengan yang dimiliki Gavel?"
Tangan Alea yang baru saja memegang cangkir teh tiba-tiba berhenti, dia ragu apakah harus mengatakan pada Kakaknya atau tidak, "Benda itu berbahaya, suatu saat Duke bisa tertelan jika tak bisa mengendalikannya."
Amore menelan ludahnya, itu seperti yang dikatakan di novel. Artefak terkutuk berbentuk jam saku. Tadinya Amore kira yang tergambar di dada Gavel adalah kompas. Dia hanya melihatnya sekilas saat pertama kali Gavel menunjukkannya. Namun setelah beberapa hari yang lalu dia tidur bersamanya, kini Amore tahu kalau itu berbentuk jam, bukannya kompas. Dan setelah itupun, Gavel menunjukkan langsung jam saku itu saat Amore meminta untuk melihat benda terkutuk miliknya.
"Apakah tak ada cara untuk melenyapkan benda itu?" Amore mengigit bibirnya seraya menatap adiknya cemas.
"Itu mungkin. Milikmu mungkin bisa melakukannya kak." Alea menatap tangan kiri Amore.
Seakan menanggapi kata-kata Alea, Rouge bereaksi dan Amore mengernyit pelan saat merasakan rasa panas ditangannya.
***
Ps. Sebenernya nama pedangnya Rouge bukan Rogue😂 selama ini aku salah ketik, karena terlalu mirip huhu wkwk
Rouge dalam bhs prancis artinya merah😂
Kalo rogue(eng) kan artinya jahat/bajingan etc.
28 Juli 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Trash Lady
Fantastik🌸2. Reincarnation Series #3 in Romance (2/07/2021) #4 in Fantasi (4/07/2021) Warning! 15+ Dulu aku gadis lemah penyakitan yang akhirnya mati tanpa seorangpun disisiku. Seumur hidupku aku hanya berbaring di kasur rumah sakit dan tak bisa melakukan...