Ronald Giordo berjalan mondar mandir di dalam kamarnya saat tengah malam. Dia sudah menutup rapat pintu kamar, jendela bahkan mematikan lampu kamarnya agar para pelayan yang merupakan bawahan sang Ratu percaya kalau dia sudah tidur. Setelah kemarin dia bertemu Lady Amore, Ronald sudah bertekad untuk menerima bantuannya untuk menghentikan rencana ibunya.
Ronald dengan gugup mengeluarkan secarik kertas dari sakunya. Lady Amore telah memberikannya benda ini padanya, dan memberitahunya untuk merobeknya saat dia yakin kalau tak ada seorangpun disekitarnya dua hari kemudian saat tengah malam.
Ronald menghela napas dalam-dalam lalu merobek kertas itu. Sesaat kemudian sebuah lingkaran sihir terbentuk di lantai yang berada di hadapannya. Cahaya menyilaukan keluar dari lingkaran itu dan kemudian sesosok perempuan mungil muncul di hadapannya. Perempuan itu terlihat lebih muda darinya, namun Ronald tetap tak bisa menghilangkan kegugupannya.
"Jadi, anda Pangeran Ronald?" Sapa gadis itu tersenyum. Alea menunduk sopan memberi salam lalu memperkenalkan dirinya dengan singkat, "Aku Alea Bourche, Yang Mulia. Kakak perempuanku bilang aku harus membawamu pergi ke suatu tempat sekarang."
"Ah, y-ya. Aku akan pergi." Ronald mengangguk cepat.
"Tolong pegang tanganku Yang Mulia." Alea mengulurkan tangannya pada Ronald untuk melakukan sihir teleportasi bersamanya, dan tanpa ragu dia menuruti perkataan Alea.
Tak perlu menunggu lama, cahaya menyilaukan perlahan kembali muncul dari lingkaran sihir yang berada tepat dibawah kaki Alea dan Ronald. Beberapa saat kemudian mereka pindah dan muncul kembali di sebuah ruangan asing yang baru pertama kali Ronald lihat.
"Kalian sudah tiba." Ujar Amore menatap ke arah Ronald dan Alea.
Ronald terkesiap saat melihat ke arah seseorang yang berada di sebelah Amore. Gavel memelototinya tajam tanpa berkedip, seakan-akan memperingatinya agar tak mendekati Amore.
Namun Ronald lebih terkejut lagi saat melihat sosok Walden, kakak laki-lakinya yang selama ini selalu ingin dia ajak bicara.
"Silahkan duduk." Amore kembali membuyarkan lamunan Ronald yang tak bisa mengalihkan tatapannya dari Walden.
Dengan patuh dia duduk lalu melirik ke arah orang-orang yang duduk dihadapannya dengan gugup. Selain Walden dan Amore, ada Marquis Bourche, Kenneth yang akan menjadi Marquis selanjutnya, dan juga Gavel yang memiliki kedudukan setara dengan Walden yang seorang Putra Mahkota.
Setelah beberapa saat Amore mulai berbicara dan menjelaskan situasi serta rencananya untuk membuat Ronald terbebas dari cengkraman sang Ratu sekaligus menekan faksi Ratu dan membuat Walden naik takhta tanpa perlawanan menyulitkan dari mereka. Tentu saja Gavel sebagai Duke Heinz akan mendukung rencana ini bersama Marquis Bourche, karena pada dasarnya mereka lebih membenci faksi Ratu karena telah melakukan banyak pekerjaan kotor dan berusaha mendekati Amore untuk tujuan mereka.
Tapi tentu saja faksi Walden juga mendapatkan kebencian Marquis dan Gavel karena telah melibatkan Amore dalam bahaya. Pertemuan dan kerjasama ini juga bisa berjalan lancar karena pihak Walden telah menyingkirkan Marquis Carden sesuai permintaan Gavel dan Marquis.
"Aku benar-benar tak menginginkan takhta, kau harus percaya padaku Kak." Ronald memandang cemas pada Walden, dia bahkan meninggalkan gelar kehormatannya dan lebih memilih untuk berbicara sebagai saudara Walden ketimbang sebagai saingan politiknya.
Walden memandangnya acuh tak acuh namun menjawab, "Aku tahu."
Ronald tersentak, dia semakin menatap Walden dengan bingung. Saat itu Walden menjentikkan jarinya memberi tanda pada bawahannya, dan sesaat kemudian seorang gadis seumuran Ronald muncul dengan seragam pelayannya.
"T-tidak mungkin." Gumam Ronald tak percaya. Tanpa sadar kakinya melangkah maju menuju gadis pelayan itu dengan air mata menggenang dipelupuk matanya.
"Rachel! Rachel!" Panggil Ronald seraya mendekap erat gadis itu. Sosok yang selama ini tak pernah sekalipun dia lupakan mesti telah bertahun-tahun sejak kematiannya berlalu.
"Ronald." Suara gadis yang selama ini selalu ingin dia dengar akhirnya berada di dekapannya.
"Ya, ini aku. Aku disini," Ronald memandang wajah Rachel yang terisak dengan pandangan buram tertutup air matanya. Reuni mengharukan itu tak bertahan lama karena Gavel langsung meminta mereka duduk dan ikut dalam rencana yang telah mereka buat bersama-sama sebelumnya.
Ronald akhirnya mengetahui kalau selama ini Rachel diselamatkan oleh Walden saat Ratu berusaha membunuhnya. Walden tahu betapa Ronald menyukai Rachel, karena itu dia diam-diam membuat Rachel bekerja di istana Walden, tempat teraman yang tak akan mungkin didatangi oleh Ratu sekalipun.
Rencana yang telah Walden, Marquis Bourche dan Gavel persiapkan adalah pada waktu perayaan ulang tahun Raja yang akan berlangsung dua bulan dari sekarang. Ini adalah waktu yang tepat ketika semua bangsawan berkumpul dan bisa menyaksikan saat Ronald mengumumkan akan menyerah untuk takhta.
Namun, mereka yakin kalau faksi Ratu pasti akan langsung bergerak dan melakukan pemberontakan jika itu terjadi. Jadi untuk sepenuhnya mengentikan mereka Walden membutuhkan Gavel dan Marquis Bourche saat itu terjadi. Jika mereka berdua membela sisi Walden, mereka pasti akan menyerah dan karenanya tak akan menimbulkan korban lebih banyak.
"Perlu kau ingat, meski kami membantumu kami bukanlah orang-orang faksimu. Kami melakukan ini hanya karena permintaan Amore. Jangan anggap kami bagian dari kalian." Suara tegas Gavel menggema, meski begitu Walden bisa melihat kalau itu adalah peringatan untuknya agar tak melewati batas hanya karena mereka membantunya.
Walden menghela napas dan mengangguk pelan. Dia tersenyum pahit seraya melirik ke arah Amore, gadis yang kini sudah menjadi milik orang lain.
***
Walden menatap pada taman luas mansion Heinz yang berada diibukota Myron. Gavel sendiri yang menawarkan agar semuanya dilakukan di mansionnya karena agar menjadi lebih mudah. Tak akan ada yang berani mendekati kediamannya diibukota karena dia terkenal dengan keganasan dan kegilaannya, semua rumor buruk akan dikaitkan dengannya. Kurang lebih sama dengan Amore. Jika Amore dianggap wanita sampah maka Gavel akan dianggap dengan Duke gila. Namun bagi mereka rakyat yang tinggal di wilayah Heinz yang terletak jauh dari ibukota tak akan melihat Gavel sebagai orang yang berdarah dingin atau kejam. Dia adalah tuan yang baik dan bijaksana, namun memang dia memiliki sisi gilanya tersendiri. Meski begitu, semua orang yang bekerja sebagai pelayan di kastil wilayah Heinz akan menertawakan rumor berlebihan yang tersebar diibukota, karena mereka sangat tahu bagaimana sifat Tuan mereka yang sebenarnya."Terimakasih sudah menyelamatkan Rachel." Ronald tersenyum menghampiri Walden yang tengah melamun dengan banyak pikiran dikepalanya.
Walden menatapnya lalu mengulurkan tangannya dan menepuk kepala Ronald, "Kau sudah bekerja keras." Katanya tulus memuji Ronald. Walden paling tahu bagaimana adik laki-lakinya yang memiliki hati lembut ini berjuang keras untuk menentang ibunya.
Ronald tersenyum kecil dan mengangguk, dia lega melihat sikap hangat Walden padanya. Dia mengira Walden akan membenci dirinya karena Ibunya. Namun Ronald tetap memiliki beban berat dipundaknya.
Bagaimanapun dalam beberapa bulan pemberontakan akan terjadi, dia sudah menyiapkan hatinya untuk menghadapi hal terburuk, yaitu kematian orang-orang dari faksinya. Termasuk ibu kandungnya sendiri, sang Ratu. Ibunya sudah melewati batas, Ronald tahu itu. Berkali-kali dia berusaha meyakinkan ibunya agar tak menjadikan Walden sebagai musuh, namun itu sia-sia. Dia bahkan mati-matian berkata tak ingin memperebutkan takhta melawan Walden, karena dia tak ingin menjadi Raja. Tapi keserakahan dan obsesi sang Ratu membuat semuanya semakin rumit.
Terlebih lagi Raja saat ini terlihat lebih mendukung sang Ratu walau dia sudah menetapkan Walden sebagai Putra Mahkota beberapa tahun yang lalu. Itu artinya posisi Putra Mahkota bisa saja berganti menjadi Ronald jika Ratu berhasil mendapatkan dukungan dari Raja.
***
16 September 2021

KAMU SEDANG MEMBACA
Trash Lady
خيال (فانتازيا)🌸2. Reincarnation Series #3 in Romance (2/07/2021) #4 in Fantasi (4/07/2021) Warning! 15+ Dulu aku gadis lemah penyakitan yang akhirnya mati tanpa seorangpun disisiku. Seumur hidupku aku hanya berbaring di kasur rumah sakit dan tak bisa melakukan...