Chapter 9

16.7K 788 5
                                    

"Brengsek lo Ndu"

"Keparat!"

"Arghh!!"

Frustasi Pandu.

Beberapa menit lalu ia sudah terjaga dari tidurnya sebab matahari yang mulai menampakkan wujudnya.

Pemandangan pertama yang ia temui tentu adalah Nala yang terbaring dengan keadaan yang mengenaskan.

Iangsung terngiang dikepalanya jeritan kesakitan wanita itu, permohonanya, gemetar tubuhnya.

Pandu telah memperkosanya

Bahkan Pandu masih dapat melihat sisa perbuatan itu tercetak di seprei ranjang.

Pandangan Pandu tak pernah luput dari Nala, namun tak berani menyentuh, seolah jika Pandu menyentuh, wanita itu akan hancur perkeping keping sebab rapuhnya.

Pandu bergerak bangkit, merasa perlu membersihkan dirinya, kemudian ia berjalan menuju kamar mandi.

Keluar dari kamar mandi mata Pandu langsung teralih pada Nala yang mencoba bangkit dari tidurnya.

"Laa??" Panik Pandu setelah melihat wanita itu telah bangun dari tidurnya.

Langsung saja ia menghambur ke arah ranjang, dimana Nala berada.

"Hiks hiks, jangan" lirih Nala pilu, tubuhnya bergeser menjauh saat Pandu melangkah mendekat.

"Laa, maaf La, maafkan Mas" Pandu berujar, semakin dekat, semakin Nala jauhkan tubuhnya, hingga sampai ke kepala ranjang.

Tubuhnya terlihat bergetar hebat walau tertutup selimut, matanya bengkak sebab terlalu lama menangis, bahkan wajahnya lebih pucat.

Dan ini semua adalah sebab Pandu.

Kepala Nala mengeleng geleng diiringi tangis, semakin histeris saat Pandu semakin dekat kearahnya.

Sesakit itukah? Mengapa Nalanya tampak ketakutan sekali.

"hiks, jangan" lirihnya lagi.

"Gak Laa, gue gak akan nyakitin lo, maafin gue La" balas Pandu saat telah tepat berada di depan Nala.

Wanita itu menggeleng dengan tangisnya. Tampak begitu hancur dan rapuh.

Nala menghindar saat Pandu hendak merengkuhnya. "Ini Mas Pandu La, jangan takut" ujarnya berusaha menenagkan.

"hiks hiks, Mas jahat" ujarnya kemudian.

"Maaf La, Mas emosi" jawab Pandu.

Nala menggeleng lemah, tubunya terasa semakin lemah, sakit dibawah sana, bahkan kepalanya semakin terasa berputar.

Hal terakhir yang ia tahu adalah teriakan Pandu hingga akhirnya semuanya terasa gelap.

***

"Pasien Demam tinggi, stres dan kelelahan, setelah sadar dia langsung makan ya" ujar dokter yang baru saja memeriksa Nala.

"ini resep yang harus kamu tebus, pastikan diminum sesuai jadwal" ujarnya lagi menerima secarik kertas tersebut dari sang dokter.

"Baik dok terimakasih, saya permisi dulu" pamitnya kemudian.

***

Setelah menebus obat Nala, ia sempatkan membeli bubur ayam dan beberapa buah, lalu setelahnya Pandu kembali ke ruang rawat Nala.

Tepat pintu dibuka, disaat yang sama Nala membuka matanya, pandangan mereka langsung bertemu.

"Laa" ujar Pandu langsung mendekat, bingkisan yang ditangannya langsung ia letakkan di atas meja samping brankar Nala. Dan kembali fokus pada Nala.

"Kenapa? Kepalanya pusing?" tanyanya khawatir saat Nala meringis menyentuh kepalanya.

"Makan dulu ya, biar energi lo pulih, dan sakit kepalanya hilang" titah Pandu, namun Nala menggeleng.

"Harus makan La, tubuh lo lemah banget, tadi Mas udah beliin bubur ayam, suka kan? Atau mau makan buah dulu?" tawarnya, namun Nala hanya diam tak menjawab, acuh pada lelaki itu.

"Nala mau pulang" ujarnya kemudian.

" Kita bakal pulang kalo lo udah sembuh, makanya sekarang makan dulu ya" balas Pandu yang mulai mengeluarkan kotak bubur ayam yang sebelumnya ia beli.

"Sekarang" wajab Nala dengan nada yang agak meninggi.

"Gak bisa Laa, lo harus rawat inap. Sekarang makan dulu ya" tawarnya lagi

"Gak" balas Nala cepat, dan langsung berbalik membuang muka dari Pandu, memunggungi lelaki itu.

"Jangan childish La, lo sakit, makan sekarang" titah Pandu yang mulai tak sabar.

Namun tak ada respon dari Nala, seolah hanya menganggap itu angin lalu dan tak ada Pandu disana.

"Sini makan dulu" titahnya berharap Nala berbalik, namun tak ada pergerakan sama sekali.

Dengan tak sabar Pandu meletakkan bubur itu di meja, kemudian menarik paksa Nala agar menghadap kearahnya.

"Ahk! Sakit" lirih Nala, sebab tangan Pandu serasa melilit di pergelangan tangannya.

Spontan Pandu langsung melepaskan tangan Nala, memerah bahkan terdapat luka luka goresan disana, Ia kah yang melakukannya?

"Maaf Laa" lirihnya penuh sesal.

Namun tak ada respon dari Nala, Pandu memutuskan diam dan menunggu, hingga akhirnya menyadari Nala terisak memunggunginya.

"Jangan nangis La, Mas benar benar minta maaf" ujarnya tulus.

Pandu memegang bahu Nala, dan perlahan membalikkan tubuh wanita itu tanpa perlawanan.

Mata itu, malam itu juga Pandu melihatnya, terpejam dan dibanjiri air mata.

Sungguh sakit sekali melihatnya.

Perlahan Pandu menyentuh pipi Nala, menghapus bulir air mata yang terus saja berjatuhan.

Wajah putinya memucat, bibir yang biasanya merah merona kini sedikit memudar.

"Sst,, udah yaa, semuanya akan baik baik aja, jangan nangis lagi, ntar makin pusing kepalanya" ujarnya seraya mengusap kepala Nala.

Pandu kemudian mendudukkan Nala lalu merengkuh wanita itu, mengukungnya dalam pelukan hangat, sedang Nala tak berusaha menolak.

Satu menit, dua menit sampai entah berapa lama, hingga isakan Nala mulai mereda dan tak terdengar lagi.

Pandu kemudian melepaskan pelukannya. Menatap wajah Nala, pipi putih yang berisi itu kini basah, mata sembab berair, dan hidung yang memerah.

Pandu mengusap lembut pipi itu, menghapus sisa air matanya.

"Sakit Mas" lirih Nala kemudian

"Sakit?, apa yang sakit la?" jawab Pandu lembut.

Lalu segera menyadarinya dengan lirikan mata Nala yang mengarah pada bagian bawah tubuhnya.

Bisa bisanya Pandu melupakannya, Nala adalah wanita yang baru memasuki usia delapan belas tahun, itu adalah pengalaman pertamanya dan dilakukan dengan cara yang kasar pula.

"Sabar ya, sebentar lagi pasti hilang kok sakitnya" jawab Pandu menenangkan.

Tentu Pandu pernah melakukan hal itu, namun mereka tidak seperti Nala.

Nala hanya mengangguk mengiayakan.

Tbc.

Pandunala (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang