Chapter 32

9.6K 385 0
                                    

“Kamu dari mana aja sayang, mama bingung nyariin kamu tau gak” ujar Safira ketika menghampiri Nala

Alih alih menjawab Nala menoleh sekejap kebelakang, langkah Pandu tampak terhenti di belakangnya

“Nala cuma cari udara segar Ma, bosen di dalem” jawab Nala

“yauda, mama temenin yuk” Safira berujar sembari merangkul hangat putrinya

Nala menggeleng “udah cukup kok Ma, kita balik aja”

Safira mengelus lembut puncak kepala Nala, lalu mengangguk “yuk, udara malam juga kurang baik buat kamu”

Sebelum melangkah lagi lagi Nala melihat sekejap ke belakangnya, bahkan lelaki itu tak lagi berada di tempatnya, Nala tersenyum miris, kembali mengingat bahwa mungkin memang hanya dirinya yang melibatkan perasaan terlalu jauh pada hubungan mereka

***

Hari ini Nala dengan perencanaan bangun lebih awal, seperti yang dikatakan Safira tadi malam pada Nala bahwa sekitar jam sembilan hari ini Nala akan menjalani kuretase, sebab itu Nala tak punya banyak waktu lagi

Saat fajar telah menampakkan wajahnya, Nala dengan pergerakan yang hati hati kembali keluar dari ruangan itu melalui jendela yang sama dan mengendap endap keluar dari area rumah sakit, keputusannya tak akan berubah, ia tetap akan mempertahankan kandungannya

Jika bicara soal tujuan, Nala tak punya, ia hanya ingin pergi sejauh mungkin agar tak ada yang bisa menemukannya dan memaksanya menggugurkan bayinya

Namun dengan keterbatasan uang, tentu saja pergerakannya juga terbatas, tak punya banyak pilihan, ia harus menjual beberapa perhiasan yang ia punya

Anting. Ya, itu pilihannya, Nala tau jika antinya berharga mahal, sebab terdapat intan berukuran kecil di sana, pastilah itu cukup untuknya beberapa bulan ke depan. Di depan sana pastilah ada penjual perhiasan, tempat yang tepat untuk menjual anting miliknya

Mata hari semakin meninggi, Nala terburu berjalan ke arah keramaian pasar, ia harus menjual antingnya secepatnya dan pergi

Wanita itu tersenyum kala menangkap salah satu toko yang bertuliskan “toko emas”

Ia menghentikan langkah, membuka kedua antingnya, lalu kembali melangkah, namun sedetik kemudian pergelangannya dicekal, Nala sontak menoleh

“serahin!” bentak lelaki dengan setelan pereman pasar tepat dihadapannya

Nala panik, dengan keras ia menarik tangannya yang menggenggam antingnya  agar terlepas “gak! Lepasin!. Tolong...“

“brengsek!” maki si preman ketika beberapa orang di ujung sana mulai melihat ke arahnya

Si preman semakin mengeratkan genggamannya pada pergelangan Nala, dan satu tangannya mulai memaksa jemari itu membuka, namun sekuat tenaga pula Nala pertahankan

“tolong!”Nala kembali berteriak, kali ini beberapa orang tampak lari ke arah mereka, melihat itu si preman panik dan langsung mendorong Nala kebelakang

Tubuhnya yang lemah itu terdorong membentur dinding bangunan lusuh di belakangnya, matanya mengabur kala kepalanya terbentur keras di sana, semua orang terdengar berteriak sembari mengerubunginya, sebelum matanya tertutup sempurna dilihatnya cairan merah mengalir di kakinya.

***

Hal buruk terjadi, dan terkadang tak ada yang bisa kita lakukan untuk itu selain menerima, sebab penolakan  akan menimbulkan rasa sakit

Ya, seharusnya Nala sadar itu, namun entah mengapa sulit sekali menerapkan hal itu bila mengalaminya

Ia ingin marah,namun  bukan pada orang lain melainkan dirinya sendiri, berniat hendak menyelamatkan bayinya namun ternyata dirinyalah yang melenyapkannya meski dengan sebuah ketidaksegajaan

Kesedihan  menggerogoti dirinya beberapa hari belakangan ini, air mata dengan tanpa pertimbangan lolos dengan mudahnya ketika ingatannya kembali pada kejadian pagi itu, ia bahkan enggan bicara, ia hanya bicara sekenanya dan menolak ditemui siapapun

“Makan dulu sayang” Safira berujar sembari meletakkan semangkuk bubur pada nakas di samping brankar Nala, namun wanita itu malah membalikkan tubuh, memunggungi Safira, seperti hari hari sebelumnya

Safira sadar jika putrinya butuh waktu, namun kekhawatiran semakin melekat padanya sebab putrinya terlalu berkubang dengan sedihannya

Dengan lembut Safira mengulurkan jemarinya mengusap surai hitam Nala “hal buruk terjadi, dan terkadang kita gak bisa lakukan apapun, selain menerima sayang”

“ada hal hal diluar kendali kita, jadi kamu gak bisa salahin diri kamu untuk semua hal yang terjadi”

“jangan terlalu larut dengan kesedihan kamu, itu akan nyakitin kamu sendiri”

“bukan soal siapa yang salah atau tidak, tapi yang paling penting adalah gimana saat ini, things happend in our life, either you like or not, itu hal biasa yang manusia alami, jangan lantas terpuruk sebab terjadi hal yang gak kamu senangi, kamu harus bangkit lagi, jalani hidup kamu lagi”

“masa lalu, tempatnya di masa lalu, jangan bawa kemanapun kamu pergi, ia disana akan jadi kenangan dan pembelajaran, bukan untuk diratapi”

Safira menghentikan ucapannya kala dirasakannya punda Nala bergetar, disusul dengan Nala yang membalikkan tubuhnya menghadap Safira

Safira segera menghapus bulir air mata miliknya, lalu tersenyum pada Nala, putrinya menangis tergugu, tanpa suara dengan bulir air mata yang mengalir begitu derasnya

“Bayi—“

“Stt..” Safira mendesis menghentikan ucapan Nala, lalu memeluk putrinya “kamu hanya butuh waktu, semua akan baik baik aja sayang”

***

Meskipun terkesan klise namun benar nyatanya bahwa waktu akan membantumu untuk melupakan sesuatu, meski bantuannya cukup memakan proses yang lama, bahkan untuk kejadian kejadian yang paling menyakitkan waktu bisa lebih lama bekerja dari yang bisa dibayangkan

Layaknya Nala, meski raut kesedihan masih kentara di wajahnya pada waktu waktu tertentu, setidaknya tangisnya tak pernah lagi tumpah, wanita itu mulai bisa menerima apa yang terjadi padanya

“mari masuk sayang” ujar Safira ketika Nala menghentikan langkahnya yang hendak masuk ke rumah mereka

Setelah seminggu lebih di rawat di rumah sakit, hari ini Nala telah di perbolehkan pulang, setibanya sampai di pekarangan rumah mereka, wanita itu langsung mengarahkan pandang pada bangunan besar di sampingnya, rumah Pandu dan keluarganya

Nala menoleh pada Safira kemudian mengangguk, lalu melanjutkan langkah

“Oke, mama tinggal dulu, mama mau masak untuk makan siang kita, kamu istirahat aja ya” ujar Safira saat mereka telah tiba di depan pintu kamar Nala, wanita itu mengangguk patuh kemudian

Nala masuk setelah Safira pergi, melangkah memasuki kamarnya, terlihat semua barang barangnyanya telah kembali ke kamar ini, Safira memang sudah menyampaikan jika barang barangnya telah diambil dari apartemen Pandu

Wanita itu lalu melangkah ke arah jendela, memandang dari sana, lagi lagi matanya terarah pada rumah Pandu, rumah lelaki itu tampak sepi

Ketika di rumah sakit, beberapa kali Nala dengar suara lelaki itu yang memberontak ingin masuk, namun tentu dua penjaga yang Ardi bayar selalu mengusirnya jauh jauh dari sana

Hanya sebatas itukah perjuangan Pandu untuknya?

Seharusnya lelaki itu berjuang lebih untuk hubungan mereka, namun tiga hari terakhir ini lelaki itu tak pernah tampak, seolah ketidakhadirannya menyatakan persetujuan akan keadaan mereka saat ini.

TBC

Pandunala (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang