Chapter 22

13.5K 576 60
                                    

Nala membuka matanya perlahan, memijat kepala pelan sebab pusing yang mendera.

Nala melihat kesekelilingnya, lalu wanita itu tersenyum kecut, bagaimana bisa ia bermimpi Pandu melakukan hal semanis itu padanya,
Jelas jelas kemarin malam Pandu marah besar dengannya sebab insiden dirinya dan Reno, amarah lelaki itu kembali meledak-ledak dan meninggalkannya begitu saja yang menangis histeris.

Nala bergerak cepat kala merasakan mual pada perutnya, langkahnya terburu ke kamar mandi dan memuntahkan cairan bening yang setiap pagi selalu menguras tenaga.

Setelah gelombang mual itu mereda, Nala keluar dari kamarnya, bermaksud memasak sarapan pagi untuk dirinya dan Pandu.

Namun langkahnya terhenti kala melihat ada wanita lain yang berkutat disana, Raisa. Sedang Pandu terlihat menikmati siaran televisi di pagi hari.

Bahkan belum kering goresan luka Nala, namun goresan yang lebih dalam kembali ia dapatkan.

Raisa tersenyum penuh kemenangan tatkala pandangan mereka bertemu “Hai, La. Aku udah siapin sarapan, sini” Ujar Raisa ramah sembari meletakkan masakan yang baru selesai ia buat.

Mendengarnya Pandu menoleh ke arah Nala yang berdiri di tempatnya tampak acuh,  kemudian kembali melihat layar televisinya.

Melihat itu, sekuat tenaga Nala menahan air matanya yang hendak jatuh.

“Ngapain kamu disini, ini rumah Nala dan Mas Pandu, kamu gak seharusnya ada disini” Ujar Nala bergetar, lebih kepada perasaan sedih dari pada amarah.

Sebab ia tahu bukan sepenuhnya salah Raisa, Pandu pasti yang mengizinkan wanita itu masuk, bahkan mereka masih menjalani hubungan.

“Ckk, Kamu kenapa sih La, gasuka banget sama Aku” Jawab Raisa “Aku udah cape cape buat sarapan buat kamu dan pacar aku” Sambungnya sembari melihat kearah Pandu “Hargain dong”

Nala melangkah cepat ke arah Raisa, dan langsung mendorong tubuh wanita itu “Pergi!!”

Raisa terhuyung kebelakang dan jatuh dengan gerakan yang ia buat sendiri membentur kaki meja “Awh,, sakit..!!” Raisa meringis meraba sisi kepalanya.

Melihat keduanya Pandu segera menghampiri “Apa-apan sih, La!” Senggak Pandu.

Tubuh Nala tersunggut kebelakang kala Pandu berjongkok menolong Raisa.

Air matanya lolos begitu saja melihat apa yang Pandu lakukan, namun cepat dihapusnya kala Pandu menghadapnya.

“Kenapa kasar banget sama Raisa!!”

Nala memejam takut mendengar suara lantang Pandu, sedang Raisa yang melihatnya tersenyum penuh kemenangan.

“Mas seharusnya gak bawa dia kesini, Nala kan istrinya Mas” Cicitnya gemetar, menahan tangis sembari takut.

Pandu membuang nafas jengah “Kenapa gue gak bisa sedangkan lo jalan sama si brengsek Reno”

“Nala gak ada hubungan apa apa Mas” Balasnya cepat, dengan tangis yang tumpah begitu saja.

“Kalo gitu anggap kita ga ada hubungan, kaya lo sama Reno” Raisa menimpali “Tapi bisa jalan berdua sana sini”

Mendengarnya membuat Nala tersulut emosi dan kembali mendorong Raisa, kali ini dengan tenaga yang lebih kuat hingga punggung wanita itu terbentur ke sisi pantry

“Pergi!!”

“NALA!!” Suara keras Pandu bagai petir yang bergemuruh, lengan Nala ditarik paksa menjauh dari Raisa, membuat tubuhnya membentur tepian meja.

“Akh..”Nala meringis tertahan, air matanya tak henti mengalir saat melihat Pandu yang memperdulikan Raisa di depannya.

“Ayo kita pergi” Ujar Pandu setelahnya, bahkan tanpa melihat Nala yang juga merasakan sakit disana.

Nala menggelng kuat “Mas jangan tinggalin Nala”

Wanita itu memohon dalam tangisnya, bahkan tangannya ditepis begitu saja saat hendak meraih lengan Pandu.

“Mas Pandu..” Nala menjerit kala keduanya benar benar meninggalkannya keluar dari apartement.

“Mas Pandu kenapa jahat banget sama Nala..” Ujar Nala lirih saat keduanya benar benar telah pergi, “Mas Pandu ja—Akhh...”

Nala menjerit tertahan kala merasakan kandungannya kembali terasa sakit.

Sekuat mungkin ia berusaha melangkah ke arah kamar tidurnya, mengambil obatnya yang tersimpan dilaci nakas.

“Akhh.. Sakit..” Ringis berderai air mata, sembari sedikit menekan bagian bawah perutnya.

Wanita itu langsung berjongkok tatkala tiba di depan nakas sisi ranjang, tangannya gemetar dan cepat membuka laci, meraba satu persatu benda yang ada disana, hingga akhirnya menemukan apa yang ia cari.

Melihat cup bening itu Nala tersadar seketika, obat itu telah habis beberapa hari lalu, dan ia belum bisa membelinya kembali.

Nala meringkuk pilu memegangi perutnya, sakitnya terasa semakin menjadi, tangannya perlahan mengelus lembut disana, mencoba menetralisir rasa sakit yang ia rasakan, berdoa semoga janin itu bisa lebih kuat dan baik baik saja.

“Sakitt Mas...”



TBC

Ada yg nungguin gak yaa??👀

Pandunala (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang