Bab 19

793 58 0
                                    


"Mama..." Daniel berteriak kencang begitu turun dari mobil untuk segera menghamburkan diri ke dalam pelukan orangtuanya. Sambil berlari kecil, Daniel terlihat antusias mengarah ke pintu depan.

"Daniel.., sayang.. Bagaimana perjalanannya, lancar?" Mama Bertha yang sudah berjalan ke arah luar langsung meregangkan kedua tangannya.

"Lancar ma, mama sehat kan?" Daniel mengelus-elus lengan mamanya.

"Sehat, kamu bagaimana?" keduanya masih dalam keadaan berpelukan mengobati rasa rindu.

"Baik ma.., tapi aku sedikit lapar. Mama masak apa?"

"Makan yuk, mama masak rendang sama perkedel kesukaan kamu yuk" 

Keduanya lalu masuk saling berangkulan melupakan keberadaan Naomi yang tertatih membawa barang-barang. Mereka tadi singgah sebentar belanja beberapa camilan khas kota ini. 

Naomi meletakkan bawaan mereka dan segera menyusul mama Bertha dan Daniel yang sudah berada di ruang makan. Daniel sudah duduk di meja makan sambil melahap makanannya.

"Mama.." Naomi mendekati mertuanya dan mencium punggung tangannya.

"Mari, kamu pasti lapar kan. Mama sudah masak banyak" Mama Bertha mengarahkan Naomi untuk duduk dan bergabung dengan suaminya yang sudah tampak menikmati sajian. 

Perempun itu melemparkan pandangan ke arah meja. Memang makanan yang tersaji sangat banyak dan beragam. Padahal hanya mereka berdua yang berkunjung. Mama Berta memang tipikal ibu-ibu pada umumnya. Memasak makanan yang berlimpah ruah saat anaknya berkunjung. Terus merasa anak-anaknya terlalu kurus dan harus makan sebanyak-banyaknya.

"Kelihatannya enak ma.." Naomi jadi ikut merasa lapar karena tergugah oleh penampilan makanan yang tersaji.

"Mama emang jago masak, bukan seperti kamu...." Naomi terkesiap, urung menyendokkan nasi ke piringnya. Hanya kalimat itu, tapi sakit mendera hatinya. Mama Bertha hanya diam saja tidak berusaha menengahi maupun menegur.

"Ambilin aku terung sambel Ma.." Tidak memperhatikan kecanggungan Naomi, Daniel melanjutkan perburuannya pada berbagai makanan yang sudah di masak sang mama. 

Naomipun sudah menyendokkan nasi di piringnya.

"Kamu tidak suka rendang kan Naomi, itu mama ada masak ayam goreng lengkuas kesukaan kamu"

"Iya Mama.." Lalu tangan Naomi beralih mengambil ayam goreng.

"Mama memang seperhatian itu sama menantunya, sampai-sampai dia tahu kesukaan kamu. Makanya kamu juga becus mengurus suami" Naomi kembali merasakan anak panah menancap di dadanya mendengar celotehan Daniel. Dia sudah kesulitan mengunyah makanan. Dan lagi, Mama Bertha hanya diam saja.

" Papa dimana ma?" Daniel mengacuhkan Naomi dan atensinya hanya terpusat kepada ibunya saja.

"Papa lagi pergi memancing sama teman-temanya. Palingan sore baru kembali"

"Hmmm, apa Papa masih sering tugas luar Ma"

"Masih.., Papamu tidak suka kalau hanya duduk-duduk saja di rumah. Katanya kalau kepalanya tidak di pakai untuk berfikir, nanti cepat pikun"

"Iya juga.. Trus Mama sama siapa di rumah?"

"Mama biasanya ikut menemani Papamu. Toh hanya tinggal kami berdua, masak pisah-pisah terus"

"Nahh..., itu.. istri yang baik memang seharusnya begitu. Tunduk sama suami. Mendukung karir suami."

Perasaan Naomi semakin kacau. Naomi tahu, kalimat itu ditujukan untuknya. Dirinya sudah kehilangan nafsu makan. Mama Bertha tetap tidak mau masuk dalam situasi canggung anak dan menantunya. 

"Mau nambah lagi sayang? kamu belum nyoba gulai nangka kan?" Mama Bertha menyendokkan sayuran tersebut ke piring Daniel. Daniel menyambut penuh sukacita.

"Masakan Mama kali ini berlemak semua ya.. " Daniel menyengir lebar persis bocah dan melanjutkan makanan dengan antusias.

"Iya.., habisnya kesukaan kamu memang semuanya makanan berlemak" Daniel tidak bisa menutupi kegirangannya.

"Mama memang yang paling memahami Daniel. Hanya Mama satu-satunya perempuan di dunia ini paling Daniel sayangi."

Naomi melirik ke arah mertua dan suaminya. Pemandangan di hadapannya sungguh mirip. Dia seperti menyaksikan seorang bocah yang terjebak dalam tubuh orang dewasa. Bocah yang polos yang begitu memuja ibunya. Sayangnya, karena postur bocah itu adalah tubuh lelaki dewasa, pemandangan itu tidaklah mengharukan. Entah mengapa, Naomi justru merasa itu adalah pemandangan yang paling menggelikan menuju memuakkan. Mertua dan suaminya itu terlibat percakapan seru. Mengabaikan Naomi sepenuhnya. 

Beginilah Naomi kalau bertemu dengan keluarga Daniel. Dirinya selalu tersisihkan. Dia jadi merasa bukan bagian dari keluarga ini.

"Daniel sudah kenyang Ma..." Daniel menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Naomi masih kesulitan menyelesaikan makanannya karena telah kehilangan selera.

"Sini piring kamu biar mama cuci" Tangan Mama Berta hampir meraih piring Daniel, lalu Daniel menyanggah dengan cepat.

"Tidak usah ma, biar Naomi saja. Masak menantu taunya cuma makan. Di rumah mertua harus lebih tahu diri. Jangan kebiasaan karena di rumah sendiri tidak pernah beberes"

Naomi tercekat, ingin menampik tapi disaat bersamaan tidak mau memicu keributan. Jadi dirinya memilih diam. Mertuanya sendiri seperti tidak terganggu dengan kalimat pedas anaknya. Mama Berta terlihat pura-pura sibuk merapikan makanan yang tampak tercecer. 

Naomi sebenarnya masih belum memahami mertuanya ini. Sikapnya masih abu-abu.

"Yuk ma, duduk-duduk di teras belakang. Biar Naomi yang membersihkan ini semua." Daniel lalu berdiri dan merangkul pundak ibunya. 

Mereka berjalan menuju belakang rumah dan meninggalkan Naomi sendirian. Saat kedua orang itu telah berlalu dari hadapannya, Naomi masih menunduk mengamati piringnya. Perasaannya memang sedikit sakit. Tapi tidak sesakit dulu saat pertama kali Daniel memperlakukannya demikian. Daniel sudah mulai menunjukkan wajah aslinya saat beberapa minggu setelah pernikahan, ketika mereka berkunjung ke rumah mertuanya. Dan semakin kesini, ucapan itu semakin menyakitkan. Tapi saat ini kenapa Naomi sepertinya merasa bahwa level kesakitannya malah menurun? Apakah hatinya sudah mulai merasa tawar?


--------


Setelah membereskan sisa makan siang yang di bantu oleh assisten rumah tangga, Naomi kemudian menyusun merapikan belanjaan mereka tadi. Membawa beberapa potongan buah, dirinya bergegas menyusul mertua dan suaminya di teras belakang. Sesaat hampir mencapai teras, sayup-sayup Naomi mendengar percakapan.

"Kamu coba dulu ya Daniel.."

"Tidak perlu mama.., Daniel masih sabar kok"

"Iya tapi mama yang sudah tidak sabar"

Naomi meneruskan langkah, akhirnya dirinya bisa melihat kedua orang tersebut. Sepertinya mereka terlibat percakapan serius. Daniel terlihat duduk, kedua siku tangannya menekan lututnya, sementara mertuanya duduk di hadapan Daniel. Kedua tangannya terlihat menangkup salah satu tangan Daniel. Seperti sedang membujuk.

"Aku bawa buah untuk pencuci mulut" Kedua orang yang sedang serius itu terkejut dengan kedatangan Naomi yang tiba-tiba. Mereka terlihat kikuk setelah akhirnya Mama Bertha berdeham singkat untuk menetralisir kecanggungan. 

Naomi lalu memilih duduk di samping Daniel. Lama mereka terdiam dalam suasana kikuk. Naomi menangkap sepertinya ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Hingga akhirnya Mama Bertha memecah keheningan itu. 

"Mama sudah tua. Sebelum mama pergi, mama ingin merasakan menimang cucu" Mama Bertha mengunci tatapan ke arah Naomi yang sepenuhnya paham akan maksud mertuanya.

"mama apaan sih? mama masih sehat begini" Daniel tidak terima mendengar mamanya seolah akan pergi meninggalkannya.

"Umur tidak ada yang tahu Daniel, lagipula mau sampai kapan kalian hanya berdua. Tujuan menikah kan memiliki anak. Kalau kalian tidak punya anak, untuk apa kalian menikah?"

Kalimat klise yang sering di umbar ibunya untuk menekan mereka. Nampak pertentangan besar menggelayut di pikiran Daniel. Wajahnya terlihat frustasi.

----

Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang