Sepulang dari rumah sakit, Naomi dan keluarga langsung menuju kediaman yang baru saja mereka tempati. Kedua orangtuanya memilih untuk mendampingi sang putri dalam masa persidangan. Meski wanita itu menolak dengan berasalan terlalu merepotkan, tapi bagaimanapun, sekuat apapun wanita itu, dia tetap butuh dukungan secara fisik dan mental dari orang terdekat. Untuk itulah saat ini mereka menyewa satu unit apartemen yang berdekatan dengan kantor Naomi.
Begitu sampai di kamar, Naomi langsung menghempaskan tubuh di kasur. Sudah beberapa minggu ini badannya cepat merasakan letih, mungkin karena sedang membawa nyawa kecil di dalam rahimnya. Tak hanya fisik, pikirannya juga semakin kusut membayangkan masalah ini terlalu berbelit-belit. Harapan jauh dari kenyataan saat menyadari kemelut ini tidak mungkin untuk segera diselesaikan.
Baru sebentar merebahkan diri, sebuah nomor tak dikenal mengambang pada layar ponselnya. Menggulingkan sedikit tubuh untuk mencapai nakas, Naomi dengan malas mengangkat panggilan itu,
Sebuah suara lembut terkesan ragu mengalun dari seberang sana,
"Halo mba Naomi..., ini aku Intan.."
Menyadari siapa wanita di seberang sana, Naomi sedikit mengernyit menahan nyeri di kepala yang mendadak menyerang. Demi Tuhan dia begitu lelah dan butuh istirahat lalu ada panggilan dari wanita ini yang tak lain adalah rivalnya. Tak bisakah orang-orang keras kepala ini memberikan sedikit ketenangan?
Meskipun perasaan mual mendadak menyerang, Naomi tetap menanggapi demi kesopanan,
"Ada apa Intan..?"
"Bisakah kita bertemu mba? ada yang ingin aku sampaikan.." Tekad Intan terdengar jelas dalam alunan suara yang terkesan mendesak walaupun disampaikan secara lembut.
Sambil memijat kepalanya yang tak berhenti berdenyut, Naomi menolak ajakan itu,
"Maaf tapi untuk saat ini aku tidak ingin menemui siapapun..."
"tapi ini sangat penting mba..., demi mba Naomi dan anak yang mba kandung. Juga demi kita semua.."
Intan tak berputus asa dalam usahanya untuk membujuk, namun sayangnya Naomi yang sejak awal sudah merelakan semuanya sama sekali tidak tergugah dengan pesan apapun yang ingin Intan sampaikan.
"Tidak... apapun yang ingin kau sampaikan tak akan merubah keputusan yang sudah kubuat.."
Intan tidak menyerah, sekarang atau tidak sama sekali.
"Sebelumnya Intan mau minta maaf mba..., Intan hanya mengikuti kemauan orangtua tanpa menyadari mba Naomi yang jadi tumbalnya.."
Meskipun helaan nafas di seberang sana menandakan ketidaksukaan, entah karena hal yang disampaikannya ataupun karena kecemburuan, Intan tidak akan mundur. Naomi harus mendengarkan terlebih dahulu penawaran yang dia sampaikan.
"Intan tahu mas Daniel masih sangat menyayangi mba Naomi, untuk itulah Intan mengajukan permohonan kecil pada mba Naomi.."
Intan menggantung ucapannya berharap Naomi menjadi penasaran dan mulai membuka diri. Namun sayangnya Naomi berbeda, apapun yang mejadi keputusannya akan sulit untuk tergoyahkan.
"Aku tidak tertarik dengan pembicaraan ini. Tak peduli sepenting apa, aku tidak ingin mendengarnya.... Aku hanya ingin beristirahat"
Naomi mengusap perutnya yang juga tiba-tiba merasa nyeri. Intan yang merasa kesempatan semakin menipis akhirnya langsung menyampaikan niat yang sedari tadi diagendakan,
"Mbaa......., Intan mohon jangan bercerai dengan mas Daniel. Intan rela jika dalam seminggu hanya 2 hari dikunjungi mas Daniel. Dan mengenai anak itu, nanti Intan bisa bantu merawatnya kalau mba Naomi sedang bekerja. Kita bisa sama-sama menjaganya, Intan akan menyayangi seperti anak sendiri..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Relationship
RomanceSaat orangtua menjadi pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga....