Mengunyah perlahan hidangan yang tampak menggiurkan yang ada di hadapannya, pikiran Daniel melayang entah kemana. Meskipun sedari tadi raganya tenggelam dalam hiruk pikuk keramaian dalam balutan suasana kekeluargaan yang hangat, namun perasaan Daniel tetap hambar. Sehambar rasa makanan yang saat ini berada dalam mulutnya. Dia tahu bukan hidangan inilah yang tak berasa, tetapi dirinya yang tidak memiliki kemampuan mengecap rasa.Bagaimana dia bisa merasa lengkap jika saat ini secara sadar telah menuangkan racun ke dalam pernikahannya. Racun yang berusaha dia poles dengan madu agar menyamarkan kekuatan merusak yang dahsyat.
Saat ini suasana meja makan begitu riuh menyongsong hari membahagiakan bagi semua orang kecuali dirinya. Dihadapannya terlihat mamanya dan Maria dengan wajah berbinar membicarakan tetek bengek persiapan. Daniel memalingkan wajah frustasi dari pemandangan itu. Semua sibuk membicarakan persiapan tetapi tidak ada satupun yang cukup peduli dengan kesiapannya. Menghindari menatap wajah kedua orangtua itu, Daniel malah bersiborok dengan tatapan calon istrinya yang terlihat sama bahagianya.
Segala sumpah serapah berkeliaran tak terkendali, sayangnya hanya berakhir kelu diujung mulutnya. Tak mampu dia utarakan. Tak punya nyali sama sekali. Maka kembali dipalingkannya wajah ke arah lain.
Sungguh sial. Justru pemandangan ini yang paling menyesakkan. Damian dengan mata menerawang dengan sedikit riak air yang mengambang di pelupuknya. Alih-alih berbahagia, wajah itu justru terkesan suram. Sama sepertinya yang mengalami pergolakan batin. Sibuk mempertanyakan diri dimana letak nurani. Menghentikan semua kegilaan ini sepertinya sudah terlambat meskipun kesempatan itu tetap ada.
"Kenapa mas diam saja, apa masakannya kurang enak?" Sentuhan lembut di lengan menariknya dari lamunan panjang. Menyusuri tangan lembut yang menyentuhnya hingga sampailah pada wajah pemilik. Wajah itu sungguh cerah, tak mampu menutupi tekad kuat yang memancar begitu menyilaukan."Enak.., mas hanya sedikit memikirkan pekerjaan" Bohong. Sama sekali urusan pekerjaan tidak mengusiknya.
"Jangan terlalu dipikirkan mas, ingat kesehatan. Nanti mas bisa sakit" Dengan berani tangan lembut itu mengelus lengan Daniel. Daniel tak bergeming hanya memaku tatapan matanya pada pergerakan tangan itu. Sepertinya dia salah menilai kepolosan wanita ini. Lihatlah baru kemarin mereka berkenalan, namun tidak canggung untuk bersentuhan.
"Yang ini aku yang masak. Mama Bertha bilang mas suka rendang kan" Intan menyendokkan potongan daging ke dalam piring Daniel. Daniel ingin mengabaikan saja tapi jadi salah tingkah karena di depan sana, mamanya memperhatikan mereka dengan aura bahagia yang memancar terang.
"Iya terimakasih" lalu menyuapkan ke mulut sambil menunduk menghindar tatapan."Iya mas, itu memang sudah kewajiban Intan" Daniel berdecih dalam hati. Kewajiban dari mana?
"Senang sekali melihat kalian bisa langsung dekat seperti ini. Mama tidak menyangka kalau kalian sangat serasi" Suara itu mengalun lembut di telinga Daniel yang membuatnya semakin kehilangan nafsu makan.
"Tidak salah kita menjodohkan mereka. Kenapa tidak dari dulu saja supaya kita bisa melangsungkan resepsi yang meriah" Hati Daniel semakin teriris. Pernyataan itu tentu merujuk kepada statusnya yang saat ini beristri sehingga tidak mungkin melakukan resepsi.
"Mungkin mereka harus bertemu dahulu dengan orang yang salah sebelum mendapatkan orang yang tepat.."
Daniel semakin menunduk dalam diam dengan hati teriris dalam. Tidak terima jika Naomi dianggap orang yang salah, namun di pihak lain mamanya tetaplah yang paling utama dalam hidupnya. Melirik sekilas melalui sudut matanya, tampak senyuman Intan yang melengkung di bibir. Senyuman yang sangat lebar. Senyum seorang pemenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Relationship
RomanceSaat orangtua menjadi pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga....