Bab 37

791 48 0
                                    

Memandangi hiruk pikuk lalu lintas dari atas gedung, Daniel masih tidak dapat mengenyahkan rasa sesak yang menggelayut. Dua jam sudah dirinya mematung mengamati dari balik kaca ruangannya, tapi tetap saja pikirannya melayang entah kemana. Waktu semakin berlalu dan hari itu akan segera tiba. Sejak hari itu, Intan memang belum menghubunginya lagi. Begitupun mamanya. Keheningan itu membuat Daniel memupuk harapan agar batalnya rencana mamanya lah yang akan menjadi akhir cerita.


Namun harapan tinggal harapan saat ponselnya berbunyi. Dengan enggan dia melirik kearah meja kerjanya tempat suara itu berasal, tapi tidak ada niat sedikitpun untuk melangkah meraih sampai panggilan itu berhenti. Daniel kembali menolehkan kepalanya ke arah jalanan dan ponsel itu berbunyi lagi. Mendesah malas akhirnya dia beranjak mencari tahu siapa gerangan penelpon yang keras kepala itu. Ah ternyata mamanya. 


Menekan tombol jawab, dilangkahkannya kedua kakinya ke posisi semula untuk kembali menikmati pemandangan jalan raya.

"......""mama sudah mengatur semuanya hanya tinggal menunggumu saja. Bisakan kalau kita resmikan minggu depan"


Ingatannya memutar saat Naomi meminta ijin untuk tugas luar kota. Baiklah memang itu adalah waktu yang tepat. Saat istrinya lengah karena kesibukannya maka akan semakin kecil kesempatan untuk curiga dan memikirkan hal-hal lain.


"Oke ma minggu depan. Lagipula Naomi memang akan pergi keluar kota" mata Daniel mengamati kendaraan-kendaraan yang tampak kecil dari atas sini, berharap bisa memupus rasa sesak.

"Oh keluar kota... mama semakin yakin dengan keputusan ini. Lihatlah dia selalu fokus pada karirnya dan tidak sedikitpun memikirkanmu. Kau terlalu dibutakan cinta sayang. Tapi syukurlah kau mau membuka hatimu demi mama.."

Ingin rasanya dia membantah untuk membela Naomi. Tapi lidahnya kelu, semua kata-kata yang terangkai di kepalanya hanya bisa termpendam di ujung lidahnya.

"berapa hari waktu yang diperlukan ma?" berusaha mengabaikan ocehan mamanya karena ketidakmampuan memberi perlindungan pada istrinya, Daniel memilih jalur aman dengan melakukan distraksi pada fokus mamanya.

"Sebenarnya kita hanya perlu mengadakan pernikahan di kantor catatan sipil lalu makan siang bersama. Setelah itu kami tidak akan mengganggu kalian berdua. Tapi karena Naomi keluar kota, mama akan segera membuat pengaturan baru agar kalian bisa menikmati bulan madu"Berbeda dengan mama Bertha yang sangat antusias, perasaan Daniel sungguh sangat dingin.


"Daniel rasa tidak perlu bulan madu mama, lain kali bisa diatur" mendengar kata bulan madu padahal dia adalah pria beristri, seketika membuat Daniel bergidik ngeri. Meskipun enggan mengakui, secara sadar Daniel merasa jijik dengan dirinya sendiri.

"Harus dong sayang. Ini kesempatan yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Kamu tenang saja, yang penting kamu cukup mengikuti kata mama."Daniel semakin pusing mendengar ucapan mamanya. Dan seolah memahami kegundahan hati anaknya, Bertha buru-buru menambahkan,


"Tidak perlu merasa bersalah sayang. Toh selama ini kamu sudah berusaha. Empat tahun pernikahan kalian, mama tahu kamu sudah memberi yang terbaik. Sebagai anak satu-satunya, kamu harus bisa menerima tanggungjawab besar yang dibebankan ke pundakmu. Salah satunya dengan memberikan keturunan"


Daniel rasanya masih ingin membantah. Mereka baru empat tahun menikah, bahkan pasangan lain ada yang baru memiliki anak setelah 10 tahun pernikahan. Apakah dirinya tidak berlaku terlalu egois dan serakah?"Sebenarnya Daniel masih ragu ma. Tapi Daniel harap, mama selalu menjadi pegangan Daniel meski apapun yang terjadi"Desah lega meluncur dari bibir Bertha. Diucapkannya rasa syukur dengan penuh haru,"Pasti nak. Pasti"

Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang