Bab 34

785 56 0
                                    

Memasuki rumah secara perlahan, Daniel menyisir keadaan dengan seksama. Dua hari dia pergi, tapi rasanya sudah seabad dia tak bertatap dengan pujaan hatinya. Bukan tidak mau menghubungi atau berusaha mengabaikan, hanya saja dia tidak mampu untuk berbicara dengan Naomi. Biarlah semua berlalu seiring dengan waktu. 


Saat ini sudah hampir tengah malam. Niatnya untuk segera pulang sehabis jamuan makan siang pupus sudah akibat mamanya yang terus mendesak agar meluangkan waktu untuk wanita pilihannya. Katanya supaya semakin akrab. Sebagai anak yang baik dan tidak ingin mengecewakan mamanya, Daniel menurut saja. Menghabiskan waktu sedari siang sampai malam hanya untuk meyusuri tempat-tempat yang di rekomendasikan mamanya dan Maria.

Saat membuka pintu kamarnya, tampaklah sudah bidadari hatinya dalam balutan selimut sampai pinggangnya. Tidurnya lelap seolah tanpa beban. Tidak menyadari badai apa yang melanda rumah tangganya dan perasaan itu menyisipkan perih di hati Daniel.


Namun tekadnya sudah bulat meskipun cintanya pada perempuan ini meluap tak terbendung.

Dihampirinya istri yang dirindukan lalu disingkirkan anakan rambut yang menutupi wajah polosnya. Istrinya tampak begitu damai dan wajahnya begitu bersih. Menghembus nafas pelan oleh perasaan yang menyeruak, Daniel lalu berlalu meninggalkan istrinya. Mungkin dengan mandi air dingin, mimpi buruk ini segera ikut terbilas bersih. Setelah selesai mandi, Daniel langsung bergabung dengan Naomi menyambut alam mimpi. Dipeluknya tubuh itudengan sepenuh hati sambil menghirup aroma yang menenangkan jiwa. Baru dua hari dia meninggalkan wanita ini, tapi sepertinya istrinya ini sudah semakin kurus saja.


-------


"Kamu sudah bangun? Jam berapa tadi malam pulangnya" Rambut Daniel masih acak-acakan saat dia sudah tiba di dapur sambil memandangi Naomi yang sedang menyiapkan sarapan.


"Maaf aku tidak dengar sewaktu kamu pulang. Kurasa aku benar-benar pulas. ." Naomi masih mengoceh saat Daniel hanya diam saja dan tak berniat menjawab. Dirinya juga masih sibuk berkutat dengan fikirannya.


"Kenapa berdiri saja, kemarilah.." Melihat Daniel yang tidak bergeming, Naomi jadi gemas sendiri. Dihampirinya suaminya itu lalu ditarik pelan tangannya. Dengan penuh kasih sayang didudukkanya Daniel di kursi. Sebelum berlalu mengambil segelas air putih, dikecupnya pipi suaminya. Daniel menikmati perlakuan manis Naomi dan enggan mengalihkan perhatian dari objek yang membuat hatinya menghangat.


Menyesap air putih yang disodorkan Naomi sambil lekat memandangi wajah sang istri dengan segera melegakan dahaganya akan kerinduan. Bangkit berdiri setelah meletakkan gelas, disusulnya wanita itu yang masih saja sibuk dengan urusannya.


"Aku pulang hampir tengah malam dan tidak ingin mengganggu tidurmu. Kamu sepertinya kelelahan, aku jadi tidak tega membangunkanmu" Daniel menyampirkan kedua lengannya untuk mendekap Naomi. Menenggelamkan wajahnya di ceruk leher wanita itu.

"Maaf tapi aku memang kelelahan" Mengelus sayang lengan suaminya, berharap tidak memicu kemarahan. Daniel hanya menjawab dengan gumanan. Sama sekali tidak berniat untuk melonggarkan pelukannya.

Mereka lalu bersama-sama menikmati sarapan pagi dengan Daniel yang selalu memeluk Naomi di setiap kesempatan. Melabuhkan ciuman di setiap bagian tubuh yang bisa dijangkaunya. Berusaha mendapatkan ketenangan dari pelukan dan ciuman.


---------

Tiga hari sudah berlalu sejak Daniel kembali ke rumahnya. Hubungannya dengan Naomi baik-baik saja meskipun istrinya selalu berusaha menanyakan mengenai detail kepergiannya saat itu. Sepertinya Naomi mencurigai sesuatu dan berusaha mencari tahu. Tentu saja sedapat mungkin dia mengalihkan topik utama agar kejahatannya menjadi samar. Hal yang pada akhirnya meruntuhkan batas kesabarannya yang tipis. Karenanya, senjata yang paling ampuh adalah dengan meninggikan intonasi saat mengingatkan Naomi mengenai kedekatan istrinya dengan pria tampan yang waktu itu dia lihat di lobi kantor.


Kekesalannya masih tersimpan rapat mengingat kejadian itu, tapi saat ini dia tidak mau menggunakannya untuk terlalu mendebat Naomi. Biarlah dia menumpuk amunisi agar saat belangnya terbongkar, dirinya sanggup membungkam Naomi dan membuatnya tidak mampu berpaling. Yang penting saat ini Naomi tidak lagi mempertanyakan kepergiannya waktu itu.


Saat masih sibuk membaca laporan hasil investigasi anggotanya, ponsel Daniel tiba-tiba berbunyi. Sebuah nomor asing tak dikenal muncul di permukaan layar namun dibiarkannya saja. Ternyata penelpon itu tidak kenal menyerah mendapati panggilannya tak kunjung di jawab. Merasa mungkin panggilan ini cukup penting, Daniel lalu mengangkatnya dan seketika merutuk keras.


Suara merdu perempuan itu mengalun lembut di telinganya. Perempuan pilihan mamanya."Apakah aku mengganggumu mas..?" Terdengar keragu-raguan dalam alunan itu."Tidak juga.. ada apa Intan?" harus tetap memberikan kesan baik agar tidak membuat mamanya kecewa.


"umm, aku hanya ingin menanyakan kabarmu. Apa kamu baik-baik saja" Wow perhatian sekali perempuan ini. Sangat menikmati perannya sebagai calon istri pilihan.

"Aku memang sibuk tapi aku baik-baik saja kalau itu yang kamu mau tahu" Desah nafas lega meluncur dari bibir perempuan itu yang tak luput dari pendengaran Daniel.

"Syukurlah aku jadi tidak perlu khawatir... umm, mas ini nomor ponsel Intan ya. Kalau mas butuh sesuatu, mas bisa hubungi Intan..""Tentu saja Intan. Kamu sendiri apa kabar?" Jadi perempuan ini menghubunginya untuk memberi tahu nomor ponselnya. Baiklah tidak ada salahnya beramah tamah.


Daniel yakin wajah perempuan itu sudah menyala kemerahan menahan antusiasme yang menerjang. Tapi memang mau tak mau dia harus rela mencairkan suasana agar keinginan mamanya segera terwujud. Lama perempuan itu terdiam sepertinya kesulitan bernafas karena dilanda kegugupan.

"Intan baik-baik saja mas" meskipun akhirnya dia bisa menjawab dengan sedikit tergagap. Daniel sedikit menyunggingkan senyuman membayangkan reaksi Intan.

"Syukurlah.. Kamu juga jaga kesehatan ya" Hanya sesederhana itu tapi dia masih mampu mendengar pekikan tertahan dari perempuan di ujung telepon.


"Baik mas, Intan akan menjaga diri dengan baik. Ummm, sudah dulu ya mas Intan masih ada kegiatan. Sampai jumpa lagi mas Daniel"


"Sampai jumpa Intan". Saat panggilan sudah terputus, Daniel masih mengamati ponselnya. Tak sadar sebuah senyum kecil terbit di wajahnya. Lucu juga perempuan ini, batinnya. Setelah beberapa detik berlalu, di letakkannya ponsel itu. Melanjutkan pekerjaan sambil masih menyunggingkan senyum. Menampik kenyataan bahwa sepertinya lambat laun perempuan itu mulai mengusiknya.

Sementara di tempat lain, Intan menekan debaran jantungnya yang berdegub tak terkendali. Wajahnya memerah dan satu tangannya yang lain menutup mulutnya. Mencegah jeritan yang mendesak yang bisa membangunkan seisi rumah. Direbahkannya tubuhnya ke tempat tidur lalu dibenamkan wajahnya di bantal. Kemudian seolah tak lagi mampu menahan, disalurkannya bahagia yang meluap melalui jeritannya. Jeritan yang tertahan oleh tebalnya bantal. Setelah puas menjerit lalu bangkit dan duduk di tengah ranjang sambil menerawang.

"Rasanya seperti mimpi ya Tuhan. Kalau ini memang hanya mimpi, aku rela tidak terbangun selamanya" Menggumankan kalimat konyol, sungguh dirinya sudah jatuh cinta. Jatuh cinta pada Daniel. Pada suami perempuan lain.


Ah tidak. Masa bodoh. Yang penting dia mencintai Daniel dan pria itu juga setuju untuk menikahinya. Dia yakin dengan pesonanya, dirinya mampu menggeser posisi perempuan entah siapapun itu namanya.


-------------

Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang