Naomi akhirnya bisa merebahkan tubuh di atas tempat tidur. Untunglah setelah Alex mengantarkannya tidak ada lagi drama yang terjadi. Naomi sudah mengganti bajunya dengan kaos longgar dan celana training. Tadi dia tertidur lama di mobil Alex, dan pria itu berbaik hati menunggunya sampai terbangun. Alex membiarkan saja Naomi pulas meskipun sudah sampai di depan rumah Naomi. Setelah akhirnya bangun, Alex langsung pamit undur diri.
Saat ini perasaan Naomi sudah jauh lebih baik meskipun perutnya terkadang masih nyeri. Pusingnya juga sudah hilang. Tadi dia sudah menelpon atasannya dan minta maaf sudah meninggalkan kantor di saat jam kerja. Atasannya malah menyuruh Naomi untuk cuti satu hari agar dirinya pulih benar. Naomi tidak menolak tentu saja, bagaimanapun dia harus memperhatikan tubuhnya alih-alih terfokus terus pada pekerjaannya.
Saat ini sudah malam tetapi sama sekali Daniel tidak menghubunginya. Justru Alex yang menelpon dan menanyakan keadaannya dan serentetan basa basi lainnya. Ragu-ragu Naomi mencoba menghubungi Daniel. Berbagai skenario bercokol di kepalanya. Apakah Daniel masih marah? Apa yang sedang dilakukan Daniel saat ini? Kenapa dia berbohong mengatakan dinas luar kota padahal pulang ke rumahnya? Apakah mama Bertha dan papa Damian tahu kalau Daniel berbohong? Atau apakah mereka bersatu membohonginya? Ahh tapi tidak mungkin kan mertuanya berbohong?
Menepis semua kemelut dalam dirinya, Naomi menekan tombol panggilan pada nomor Daniel. Panggilan pertama tidak diangkat. Mungkin ponselnya tertinggal. Panggilan kedua juga tidak diangkat. Setelah gagal kedua kali, Naomi memilih mengirimkan pesan.Bagaimana pekerjaanmu? Apakah semua lancar? Kapan pulang?
Setelah mengirimkan pesan itu, Naomi menunggu balasan Daniel. Dilihatnya pesan yang dikirimkan berubah menjadi centang dua berwarna biru. Artinya pesan sudah sampai dan sudah dibaca si penerima. Naomi kembali menunggu dengan berdebar. Mengalihkan kegugupannya, dia berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air. Setelah cukup meneguk menenangkan dahaganya, Naomi melirik ponselnya namun belum juga ada balasan. Bukankah tadi Daniel sudah membacanya? Memuaskan keingintahuannya Naomi lalu mendial sekali lagi nomor suaminya. Namun alangkah terkejutnya Naomi begitu sambungan masuk, panggilannya langsung di tolak. Saat Naomi menghubungi sekali lagi, ponsel Daniel malah tidak aktif. Katakanlah dia terlalu mencurigai suaminya. Tetapi istri mana yang tidak berpikiran liar saat seorang suami mengabaikan panggilan istri tanpa penjelasan?
----------
Daniel melirik ponselnya sekali lagi. Sudah dibacanya pesan Naomi, tapi sungguh dia enggan membalas. Bukan karena kemarahannya akan cemburu, tapi lebih kepada setitik rasa bersalah. Naomi memang bercengkrama dengan laki-laki yang sangat jelas membuat Daniel tidak nyaman. Laki-laki yang setara sebagai rivalnya. Atau malah lebih baik darinya. Tapi disini dirinya justru tidak lebih baik dengan bermufakat untuk melangsungkan pernikahan diam-diam. Pernikahan dengan asas simbiosis mutualisme. Yang satu mengharapakan cucu, yang satunya lagi mengharapkan perluasan kekayaan.
Saat ini dia sedang berada di sebuah toko perhiasan dengan calon istri barunya. Intan, perempuan ini memang cantik. Wajahnya sangat polos. Terlihat jelas di didik dengan keras untuk selalu patuh dan menurut. Perempuan yang selalu menggantungkan hidup sepenuhnya kepada sosok suami. Perempuan yang akan selalu membenarkan dan menerima keputusan suami. Perempuan ini jelas tidak memiliki kemampuan untuk mengoreksi sesuatu.Keahliannya adalah hasil doktrin turun-temurun untuk hidup sebagai pelayan. Pelayan dari pemiliknya. Pemilik yang secara hukum dan agama berstatus sebagai suami.
Sibuk dengan pikirannya sendiri karena membandingkan istri dengan calon istrinya, Daniel tidak sadar kalau Intan berbicara kepadanya,
"Mas.." Daniel langsung terkesiap. Entah itu panggilan ke berapa Daniel tidak tau. Mengubah ekspresi wajahnya dari keterkejutan menjadi lebih ramah, Daniel akhirnya memandang Intan.
"kenapa? sudah dapat yang cocok?" Intan menunduk canggung saat bersitatap dengan Daniel.
"umm.., sudah mas. Ada 2 yang bagus. Mas mau pilih yang mana?" Intan lalu menunjukkan 2 pasang cincin yang ada di balik kaca. Mereka sedang memilih cincin untuk pernikahan. Ya, mereka memang akan melangsungkan pernikahan dengan segera. Terkesan terburu-buru. Minggu depan mereka menikah dan hanya di catatan sipil. Keluarga Intan meyakinkan kalau mereka tidak masalah untuk menunda resepsi. Yang penting status mereka sah dimata hukum dan di mata agama. Meskipun Daniel sedikit merasa aneh, bagaimana caranya bisa dia menikah secara hukum namun masih berstatus suami orang. Daniel berdecak dalam hati, memang kekuasaan dan kekayaan bisa memudahkan segalanya.
Daniel melirik ke arah cincin yang di tunjukkan padanya. Sepasang cincin platina bermata satu dan sepasang lagi cincin solid dengan ukiran melintang di sepanjang permukaan. Kesannya sederhana namun elegan, namun terlihat sama saja di mata Daniel.
"Pilih saja yang kamu suka. Aku ikut apapun yang kamu pilih".
Itu bukan kalimat romantis untuk menunjukkan pemujaan kepada pilihan calon istrinya. Itu hanya kalimat ketidakpedulian karena dipaksa dalam situasi ini. Namun Intan salah menangkap. Dengan wajah merona malu-malu, dia menggigit bibir bawahnya. Jelas dia tersipu dengan keputusan Daniel yang seolah memberikan kebebasan padanya untuk berpendapat.
"Aku pilih ini saja mas" Intan lalu menunjuk cincin dengan ukiran. Diliriknya Daniel sekilas untuk membaca ekspresi pria itu. Namun wajahnya hanya datar saja. Daniel lalu meminta pelayan toko untuk menyiapkan cincin yang sudah di pilih Intan, lalu bersiap untuk melakukan pembayaran.
Dari jauh Intan melirik Daniel. Waktu Maria menunjukkan photonya, Intan langsung terpesona. Bagaimana tidak? Daniel sungguh tampan dengan postur tinggi tegap. Belum lagi kebaikan-kebaikannya yang di umbar oleh Maria. Dan begitu bertemu langsung, Intan mengakui bahwa dirinya telah jatuh cinta pada pandangan pertama.
Intan tergugup saat memandang punggung Daniel. Sungguh penasaran bagaimana rasanya jika ia bersandar disitu. Matanya awas menyaksikan saat Daniel bergerak untuk membuka dompetnya. Tercetak jelas otot-otot yang menyembul dari balik lengan kemejanya seolah tak mampu untuk menutupi tangannya yang kekar. Kembali Intan membayangkan bagaimana rasanya jika tangan itu membelai tubuhnya.
Pandangannya naik ke atas melihat rambut ikal Daniel. Seketika ingin dia benamkan jemarinya ke dalam situ. Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang sedikit tebal. Tak sadar Intan menggigit bibirnya sendiri membayangkan Daniel yang menggigitnya. Intan membayangkan bagaimana rasanya jika bibir itu mengaitkan lidahnya di bibir Intan, bagaimana desa__
"Apakah masih ada lagi yang harus di beli?"eh,Sibuk membayangkan hal erotis, Intan tidak sadar bahwa objek fantasinya sudah berdiri di hadapannya. Intan tergagap dan merutuki kebodohannya. Wajahnya memerah sampai ke ujung telinga. Daniel acuh saja seolah tidak melihat perubahan itu. Masih sulit baginya menerima ini semua.
"umm tidak ada lagi. hanya itu saja" Daniel mengangguk.
"Oke, ayo kita pulang. ini sudah terlalu malam" Daniel langsung berjalan ke depan tanpa menunggu jawaban. Sementara Intan memandang punggung Daniel dari belakang. Menyadari meskipun ini pertemuan pertama, dirinya sudah terperosok jauh dalam pesona Daniel. Saking dalamnya sampai dia bisa memikirkan hal mesum di tengah keramaian.
------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Relationship
RomanceSaat orangtua menjadi pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga....