Daniel melangkahkan kakinya dengan cepat untuk memasuki rumah. Selepas mengantarkan Intan di Hotel dia langsung bergegas pergi dan mengabaikan seluruh bujuk rayu Intan agar tetap tinggal. Kecemburuan begitu membakarnya dan dia perlu untuk segera melihat wajah istrinya. Sialnya sebelum rencananya terlaksana, panggilan kantor membuatnya menunda agenda menemui Naomi. Seharian ini suasana hatinya sangat buruk. Kembali terlintas di ingatannya mengenai kedekatan Naomi dan pria brengsek yang ditemuinya tadi.
Sungguh dia tak peduli sedekat apa hubungan Intan dengan pria tadi. Yang menjadi concern nya saat ini adalah istri tuanya yang selalu membuatnya pusing. Entah susuk apa yang digunakan wanita itu sehingga begitu banyak pria-pria kesepian berada di sekitarnya. Daniel menghela nafas gusar saat membuka pintu kamar dan semakin emosi saat tidak mendapati Naomi didalamnya. Kemana lagi perempuan binal itu?
"Naomi... kau dimana?" kemarahannya begitu besar sehingga dia lupa ada yang namanya ponsel untuk berkomunikasi jarak jauh. Pun di kantor tadi sama sekali tidak terpikir untuk menelpon Naomi. Yang di otaknya adalah segera bertemu dengan istri yang saat ini meskipun sudah mengelilingi penjuru rumah, tidak didapati keberadaannya.
"Sial!!" Daniel memaki dengan gahar. Langkahnya cepat menyusuri dapur dan langsung meninju pintu kulkas saat keberadaan Naomi tidak juga di temukan. Amarah yang tidak tersalur semakin berkorbar ganas.
Lalu tiba-tiba terdengar langkah kaki dari pintu depan dan Naomi muncul dari sana sambil membawa kantung kresek.
"Aku mencarimu sedari tadi, kemana saja kau?" tanpa tedeng aling-aling Daniel menyemburkan kemarahannya pada Naomi. Perempuan itu terpaku sesaat menatap suaminya. Apalagi salahnya? Tiba-tiba muncul dan langsung memborbardir padahal baru kemarin semuanya tampak sempurna, lalu kenapa sekarang sudah berubah menjadi labil.
"Tadi karena mulutku terasa asam jadinya aku hanya tiduran. Dan semua makanan yang kulihat membuatku mual. Jadi sekarang aku sangat kelaparan dan tiba-tiba ingin sekali makan martabak, makanya aku pergi ke depan untuk membelinya"
Naomi berusaha menjawab dengan halus agar tidak semakin memantik suaminya. Sesekali dia melihat gurat kemarahan yang memancar sambil merapalkan doa dalam hati agar kemarahan itu segera padam. Memang sampai saat ini Naomi masih kesulitan mengurai amarah suaminya.
"Lalu kenapa kau memilih berjalan kaki? Kau kan bisa pesan makanan delivery?" Daniel semakin curiga saja pada istrinya. Dia pasti coba-coba tebar pesona kepada setiap laki-laki yang di jumpai di luar sana. Cuihh, tidak tahu malu sekali perempuan liar ini.
"Kepalaku pusing, aku mau berjalan saja agar bisa menghirup udara segar.."
"Omong kosong. Sudah berapa laki-laki yang kamu goda di jalan tadi? Tidak di kantor, tidak di rumah kau selalu mencari cara untuk tetap dikelilingi laki-laki..! murahan!!!"
Racun. Mulut Daniel memang sungguh beracun. Hati Naomi berkedut sakit.
"Apa yang terjadi Daniel, kenapa kau datang dan langsung memarahiku? Kenapa bukannya menanyakan keadaanku. Kau kan tahu tadi pagi aku mengeluh sakit. Aku terpaksa ijin tidak bekerja, dan aku mengabarimu meskipun kau tidak membalas dan menjawab teleponku"
"Alasan! Mulutmu itu memang selalu pintar menjawab. Bilang saja kau mencari cara supaya bebas mencari mangsa. Sengaja menungguku pergi agar kau bisa menebar jaring. Kau pikir aku tidak tau isi otakmu itu?" Ya, tentu saja Daniel tidak menjawab dan membalas telpon istrinya. Dia tadi sangat sibuk dan mengumpulkan amunisinya untuk bertemu Naomi dan melampiaskan kekesalannya.
Naomi tertunduk lesu. Sudahlah tak usah di jawab lagi kalau tidak mau Daniel semakin hilang kendali. Selera makannya sudah hilang, perutnya hanya terisi teh hangat. Sepertinya dia tidak akan makan sampai besok pagi. Moodnya sudah amblas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Toxic Relationship
RomanceSaat orangtua menjadi pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga....