Bab 2

3.9K 157 1
                                    

Setelah membaca chat Daniel, Naomi menenangkan diri sejenak, meminum air untuk meredam kegundahan hatinya. Naomi sedang mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk segala aksi yang akan dilancarkan sang suami.

 Naomi sedang mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk segala aksi yang akan dilancarkan sang suami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesegera mungkin Naomi menghubungi suaminya, semakin cepat semakin baik. Jika tidak semua tuduhan akan semakin liar dan membesar seperti bola salju yang tidak terkendali. Dan Naomi akan menerima akibatnya baik secara mental maupun fisik. Naomi sungguh tidak mau itu terjadi.

"Halo!!!"

Daniel langsung membentak keras begitu mengangkat telepon Naomi meskipun dering pertama belum juga berakhir. Naomi refleks menjauhkan handphone. Jantungnya berdegub kencang, ketakutan seketika menjalari tubuhnya yang gemetar.

"Maaf Daniel, aku tadi sedang memeriksa dokumen jadi tidak tahu kalau kau menghubungiku" Lebih baik langsung minta maaf daripada kemarahan Daniel semakin menjadi.

"Bohong. Pinter kamu ya. Pasti kamu sedang berduaan dengan bos kamu? Sudah apa saja yang kalian lakukan tadi ha? Memang tidak tahu diri. Alasan saja periksa dokumen? Sudah sampai mana kalian tadi hah?"

Daniel dengan tempramen dan kepicikannya membuat Naomi frustasi. Menuduh membabi buta, berasumsi liar tak terkendali. Ada apa dengan pria ini sebenarnya?

"Daniel aku tidak berbohong kepadamu, aku memang sedang melakukan review beberapa dokumen. Aku mungkin terlalu fokus..."

"Halah, baru kerjaan begitu sudah sombong. Bilang saja kamu selingkuh kan? Dasar perempuan tidak becus"

Naomi diam saja masih berusaha bersabar. Menjawab adalah pilihan yang keliru saat ini. Semakin Naomi mencoba untuk menjelaskan, maka kemarahan Daniel akan semakin berkobar dan akan semakin banyak waktu yang terbuang untuk menampung ego kekanakannya. Naomi diam saja Daniel semakin menjadi apalagi kalau Naomi sedikit saja berbicara.

"Kamu ya, memang dasar perempuan liar. Mau jadi apa kamu? Aku tidak peduli kamu mau sehebat apa di kantormu yang tidak seberapa itu. Aku suamimu, kalau aku hubungi kamu harus tetap memprioritaskan suami mu. Paham?"

"iya Daniel.."

Hampir 1 jam waktu yang dihabiskan oleh Naomi untuk mendengar makian dan sumpah serapah Daniel yang menuduhnya tanpa alasan jelas. Setelah menghina dan merendahkan tempat Naomi bekerja, Daniel masih belum puas juga. Makiannya semakin panjang meskipun Naomi tidak membantah anggapan Daniel yang jelas sangat keliru.

Entah apa isi kepala Daniel mengatakan bahwa tempat Naomi bekerja adalah perusahaan tidak jelas. Padahal jelas-jelas perusahaan itu adalah perusahaan pembiayaan besar dengan klien kelas kakap di dalam dan luar negeri.

Begitupun dengan kinerja Naomi yang sangat kompeten yang membuatnya bisa bertahan di posisi saat ini. Tentu karena keahlian Naomi untuk menganalisis risk and return secara akurat serta kemampuan problem solving yang baik. Itu saja sudah cukup membuktikan kehebatan istrinya, seharusnya Daniel mengerti itu.

Tapi rupanya akal sehat tidak berlaku bagi Daniel. Dimatanya, Naomi harus tetap berada di bawah kendalinya, di bawah kakinya. Seseorang yang lebih rendah derajatnya. Yang penting dia bisa menjatuhkan mental Naomi sehingga seolah-olah Daniel lah yang segalanya lebih hebat dari sang istri. Sebagai suami, Daniel harus lebih diatas dari Naomi meskipun sebenarnya secara kapasitas tidak seperti itu. Daniel merasa insecure atas prestasi Naomi.

Naomi sendiri tidak pernah menganggap dirinya lebih hebat dari Daniel. Bukankah suami istri harus saling melengkapi? Untuk apa bersaing menunjukkan siapa yang lebih hebat antara istri atau suami? Pernikahan bukan sebuah perlombaan. 

Setelah puas menyemburkan amarah, akhirnya Daniel mulai mereda.

"Baiklah, jangan kamu ulangi lagi sayang. Ini semua karena aku terlalu menyayangimu. Kamu tahu itu kan?" Daniel berujar setelah menghabiskan banyak waktu untuk memaki Naomi.

"Iya Daniel aku tahu"

"Aku sangat merindukanmu Naomi..., sayang maaf kalau aku tadi marah"

"Iya Daniel"

"Nanti sore aku jemput kamu ya, jangan lupa makan siang. I love you."

"Iya Daniel, sampai jumpa"

Naomi hanya menjawab seperlunya supaya percakapan ini segera berakhir. Moodnya sudah benar-benar amblas padahal hari masih pagi. Pertengkaran ini menyebabkan waktu produktifnya terbuang sia-sia. Naomi mematikan sambungan telepon lalu mendesah keras sambil menutup matanya.

Selalu seperti ini. Daniel akan menuduh serampangan, memaki, menghina lalu setelah puas melampiaskan kemarahannya, Daniel akan mengucap kata cinta seolah-olah sedari tadi yang dia lakukan adalah bermanis-manis dengan Naomi. Jika sudah seperti ini, Naomi membutuhkan waktu untuk menenangkan jiwanya. Dan itu semakin membuat waktunya terbuang sia-sia. 

Daniel selalu menuduh Naomi berselingkuh kepada hampir semua laki-laki. Kecemburuan yang sangat tidak masuk akal. Naomi tidak punya waktu untuk dirinya sendiri. Tidak pernah dihabiskannya waktu untuk bercengkrama dengan teman-temannya. Dari rumah ke kantor dan langsung kembali lagi ke rumah.

Kalaupun keluar itu sudah pasti urusan pekerjaan. Naomi tidak gila mencuri-curi waktu di sela urusan kantor demi urusan pribadi. Naomi tidak mencuri waktu saja, rasanya waktu sangat masih kurang untuk menghandle pekerjaannya yang menumpuk. Apalagi kalau sampai dia bolos.

Di rumah Naomi selalu menjalankan tugasnya dengan baik. Mendedikasikan semua yang dia punya untuk melayani suaminya. Meskipun itu tidak cukup bagi Daniel. Sungguh Naomi lelah. Hatinya kelu. Naomi masih tetap bertahan sambil berusaha mengingat kenangan-kenangan mereka dahulu.

Seandainya tadi mereka bertatap muka, Daniel akan menyerang Naomi lebih dari kata-kata. Tidak segan melayangkan tangan ke tubuh Naomi. Dan setelahnya Daniel akan mengungkapkan kata cinta sambil mengobati luka di tubuh Naomi.

Naomi sesungguhnya bukan perempuan yang berpasrah pada keadaan. Keadaan dimana suaminya bukanlah orang baik. Namun saat ini Naomi masih memiliki niat yang besar untuk menjaga dan mempertahankan rumah tangganya. Dia tahu bahwa suaminya merasa rendah diri akan keberhasilan Naomi. Meskipun demikian tidak ada niat Naomi untuk resign dari pekerjaannya.

Karena sebelum menikah, mereka sudah membahas ini. Membahas karir seorang istri dan suami, apapun yang terjadi harus ada dukungan satu sama lain. Saat itu Daniel sendiri yang memberi kebebasan untuk Naomi mengembangkan potensinya. Dan Daniel secara gamblang mengakui bahwa dia sangat berbangga apabila memiliki pasangan yang cerdas. Karena itulah Naomi merasa yakin untuk menerima Daniel sebagai suaminya. Pun saat Naomi mendapat promosi kenaikan jabatan, Daniel sangat mendukung istrinya. Tentu saja Naomi bahagia, mereka memiliki visi dan misi yang sama bukan?

Tapi entah kemana Daniel yang dulu. Daniel yang sekarang sangat mendominasi dalam artian yang buruk. Semua keputusan dengan sangat arogan ada di tangan Daniel tanpa pertimbangan istrinya. Daniel selalu merasa benar. 

Sebagai kepala rumah tangga Daniel merasa perkataannya adalah titah Raja yang harus dijalankan. Namun sialnya, banyak keputusan Daniel yang justru berakhir tidak baik. Jika itu terjadi, maka Naomi lah yang akan menjadi sasaran kemarahan Daniel. Naomi sudah seperti samsak untuk kekerasan verbal dan fisik yang dilakukan Daniel.

Ada istilah mengatakan, melukai orang ibarat menanamkan paku pada sebatang kayu. Meminta maaf ibarat mengeluarkan paku yang tertanam di kayu tersebut. Paku terlepas, tetapi kayu sudah rusak berlubang.

Yang Daniel tidak sadari bahwa lubang yang dia buat sudah sedemikian banyak sehingga menimbulkan kerusakan fatal. Dan Naomi adalah manusia biasa yang memiliki batas kesabaran. Daniel tidak tahu bahwa dia sedang menggali liang kubur untuk pernikahan mereka. Pernikahan yang awalnya didasari oleh rasa cinta yang saling memuja. 

Toxic RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang