Scenario Part 2

1K 98 5
                                    

Jisoo menghela napas ketika kenangan menyakitkan sekitar tiga tahun lebih yang lalu itu menghantam kepalanya. Dia sampai tidak rela meminum kopinya yang masih tersisa setengah. Tak berniat memakan rotinya yang sudah dipanggang dan diberikan selai cokelat disana. Cokelat padahal adalah makanan kesukaaannya. Jisoo merasakan matanya memanas. Membuatnya buru-buru mendongak, guna mencegah air matanya turun.

Dia benar-benar sedih mengingat hal itu. Bagaimanapun keluarga Ahn sangat berharga baginya. Tapi sekarang semua hanya tinggal kenangan. Dia harus menerima semua dampak dari keputusannya. Menjaga putranya.

Eomma!”

Hingga teriakan yang memekikkan telinga dengan tangisan yang terdengar jelas sukses membuat Jisoo terkejut. Jelas, itu suara putranya. Dia buru-buru berdiri, berlari dari dapur ke ruang tengah—tempat biasa anaknya bermain.

“Jae! Apa yang terjadi?” tanya Jisoo seraya berlari dan jongkok tepat di hadapan putranya—Ahn Jae. Putranya yang sudah berumur 2 tahun.

Sedangkan yang ditanya malah menangis semakin keras. Kemudian menunjuk kepalanya membuat Jisoo tersadar kalau terdapat luka lebam disana. Pasti Jae baru saja terjatuh. “Astaga, kenapa kau sangat ceroboh? Kau pasti berlari-lari saat bermain pesawat. Sudah Eomma bilang untuk jangan berlari-lari kan? Sekarang bagaimana?”

“I-Iya, Jae nakal. T-Tapi kan pesawat memang harus lari. Jika tidak lari, tidak terbang,” ujarnya seraya menunjuk mainan pesawat yang ada disampingnya.

Sedangkan Jisoo hanya bisa sabar. “Ya sudah. Kau duduk dulu di sofa. Eomma akan mengambilkan salep untukmu. Jangan banyak bergerak, apalagi berlari. Kau mengerti?”

“Iya. Jae menurut,” jawabnya dengan suara menggemaskan.

Jisoo sendiri buru-buru berdiri, berlari ke kamar untuk mengambil salep. Kemudian kembali lagi dan lekas menghampiri Jae. Mengoleskan salep di kening putranya yang memerah. Sesekali berhenti ketika Jae merengek kesakitan.

“Sudah selesai,” ujar Jisoo seraya menutup salepnya dan Jae terang-terangan menghela napas lega. “Kau istirahat saja. Jangan main lagi.”

“J-Jae tidak mau main lagi. Nanti ditabrak pesawat lagi,” ujarnya polos sukses membuat Jisoo tersenyum lembut.

“Yang salah itu kau, bukan pesawatnya. Seharusnya kau jangan lari-lari. Jangan salahkan benda yang bahkan tidak bisa bergerak itu.”

Jisoo memang tidak mau seperti ibu-ibu lain yang biasanya akan menyalahkan benda mati tak bersalah dan meminta anaknya untuk memukulnya sebagai pelampiasan dendam. Jisoo ingin mengajarkan Jae mengetahui yang salah dan benar sejak kecil.

“Iya, Jae yang salah,” jawabnya. Jisoo tersenyum. Putranya memang penurut. Itu membuat beban Jisoo setidaknya kurang. “Jae tidak mau main lagi. Aku akan membereskannya.” Dan juga bertanggung jawab. Jisoo benar-benar mengajarkannya dengan baik.

Namun kali ini Jisoo menarik senyuman lembutnya dan menggeleng. Menahan Jae yang hendak turun membuat wajah tampan putranya memberikan reaksi heran. “Kenapa? Jae mau merapikan mainan,” ujarnya dengan suara yang heran, namun didominasi dengan kegemasan sukses membuat Jisoo terkekeh.

“Jae sedang sakit, Eomma akan membereskannya. Sekarang lebih baik kau kembali dan tidur di kamar. Menggambar saja di kamarmu ya,” bujuknya. Dikiranya Jae akan menurut, namun kali ini Jae menggeleng cepat. Namun Jisoo masih tersenyum lembut. “Lalu mau apa?” tanyanya. “Bermain dengan Iseul?” Dan sekarang Jae malah mengangguk cepat membuat Jisoo tertawa.

Scenario✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang