Scenario Part 32

283 39 2
                                    

“Ini buburnya, Sayang. Maaf lama. Bubur memakan waktu lama. Apakah kau sudah lebih baik?”

“Astaga. Aku baru sakit, Seokjin. Bagaimana bisa lebih baik?”

Jisoo geleng-geleng kepala saja dengar ucapan Seokjin. Padahal dia baru saja sakit hari ini dan belum lama. Seokjin sendiri mendadak malu. Itu benar. Seharusnya dia tidak menanyakannya sekarang. Dia tanyakan saja tengah malam atau besok. Ah, memalukan.

“Kau benar. Maaf. Pertanyaanku konyol. Ayo duduk. Kau harus minum obat.”

Seokjin meletakkan bubur yang sudah dibuatnya ke nakas, lalu lekas membantu Jisoo duduk. Jisoo menurut saja. Seluruh tubuhnya terasa lemas dan nyeri sekarang. Kepalanya pusing. Jisoo benar-benar tersiksa—ya, semua orang yang demam juga akan tersiksa. Jisoo memandang Seokjin yang benar-benar berhati-hati. Seokjin tampak tidak tega melihat Jisoo yang demam. Padahal demam bukanlah hal besar yang harus dikhawatirkan. Namun, itu membuktikan Seokjin mencintainya.

Itu membuat Jisoo harus menahan senyumannya. Andai saja Seokjin bukan pria yang memperkosanya, dia dan Seokjin tidak harus berada di keadaan ini. Takdir benar-benar mempermainkannya.

“Oke. Kau sekarang harus makan buburnya, lalu meminum obatnya. Aku suapi.”

Seokjin meraih mangkok berisi bubur dan menyendokkannya. Sebelum mengarahkan sendok berisi bubur itu kepada Jisoo, Seokjin meniupnya dulu dengan hati-hati, memastikan itu tidak panas, lalu mengarahkannya ke Jisoo. Jisoo lagi-lagi merasakan hatinya diterpa kehangatan. Tapi, sialnya, Jisoo harus menahan rasa itu.

“Tidak perlu. Berikan kepadaku saja. Aku akan makan sendiri.” Jisoo mengulurkan tangannya, bersiap menerima mangkok berisi bubur itu.

Namun, Seokjin yang biasanya selalu menuruti perkataannya, kali ini menjauhkan dengan sengaja mangkoknya, lalu menggeleng tegas. “Tidak, Ji. Kali ini, aku tidak bisa menuruti yang kau inginkan. Kau sedang sakit. Aku pernah merasakan demam, seluruh tubuhmu panas, nyeri, dan lemas. Jadi, aku saja yang menyuapimu. Jangan memaksakan dirimu, mengerti?” tanya Seokjin tegas.

“Tapi—”

“Ayo, buka mulutmu sekarang,” sela Seokjin dengan sendok diarahkan ke arah Jisoo, tidak mau mendengar ucapan Jisoo selanjutnya, tidak mau menerima alasan.

Jisoo menghela napasnya. Jisoo akhirnya hanya bisa pasrah. Dia tahu, Seokjin tidak akan mau mengikuti ucapannya. Dia harus mengikuti yang Seokjin mau. Seokjin tersenyum lega. Kemudian kembali menyuapi sampai suapan keempat, Jisoo sudah menahan tangannya.

“Cukup. Aku sudah kenyang. Jika kau terus memaksaku, aku bisa muntah,” tolak Jisoo.

Seokjin dapat mengerti. Orang yang sakit pasti merasa mual dan kehilangan napsu makannya. Seokjin mengangguk, yang penting Jisoo sudah makan. “Baiklah. Lalu, saatnya kau minum obat.” Seokjin meletakkan buburnya ke nakas, lalu mengambil gelas dan obat, memberikannya kepada Jisoo. Jisoo akhirnya meminumnya sendiri. “Sudah. Kau tidur saja. Saat sakit, kau harus sering beristirahat. Tapi, nanti dulu. Jangan langsung tidur. Kau baru saja makan.”

Jisoo mengangguk saja. Dia malas berbicara karena sakitnya. Jisoo memejamkan mata dan bersandar di kepala ranjang. Tapi, tak disangka dia merasakan kecupan lembut di keningnya. Jisoo spontan membuka matanya yang melebar, melihat Seokjin yang baru saja melakukannya.

“K-kau—”

“Aku benar-benar tidak tega. Wajahmu pucat sekali.” Seokjin mengusap lembut wajah Jisoo membuat Jisoo yang awalnya hendak marah, terdiam. Seokjin benar-benar tampak tak tega bercampur khawatir. “Ji, aku mencintaimu. Aku akan selalu berdoa agar kau cepat sembuh.”

Astaga. Bisakah Seokjin berhenti membuat Jisoo semakin mencintainya?

***

“Sshh.”

Scenario✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang