Scenario Part 7

382 62 4
                                    

“Aish.”

Seokjin mendesis pelan kala Jisoo sedang membersihkan darah di sudut bibirnya. Tentu saja hasil perlakuan Namjoon padanya. Tadi setelah mengatakan hal itu, Seokjin langsung mendorong Namjoon keluar. Sedangkan Jisoo mengunci pintu, didalam bersama Jae dan Iseul. Entah apa yang dibicarakan sampai Namjoon akhirnya pergi dan Seokjin kembali masuk kedalam. Jisoo buru-buru mengobati.

“Maaf, tapi harus diobati,” ucap Jisoo merasa segan. Seokjin seperti ini juga karena ingin membantu mengusir Namjoon.

Seokjin tersenyum. “Iya. Lanjutkan saja. Pukulan pria sialan itu memang sangat sakit,” kesalnya. Jisoo hanya mengangguk dan melanjutkan.

“Tadi untung saja ada kau, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak disini.” Jisoo mengusapkan obatnya di sudut bibir dan salep di pipi juga nanti. “Terima kasih, Jin. Maaf karena aku kau menjadi terluka seperti ini,” ujarnya merasa bersalah, namun Seokjin buru-buru menggeleng.

“Tidak usah menyalahkan dirimu sendiri, ini semua bukan salahmu. Tapi pria itu. Aku juga sangat senang bisa melindungimu. Ini seperti penghargaan tersendiri untukku. Berharga sekali,” jawabnya membuat Jisoo tersenyum.

“Terima kasih, Seokjin. Kau sangat baik,” ujarnya tulus. Dia mulai mengusapkan salep di pipi Seokjin.

“Tentu saja,” jawabnya bangga dan Jisoo hanya terkekeh, sebelum fokus mengobati lagi.

“Tadi Namjoon sangat ingin masuk pasti. Apa yang kau katakan padanya sampai dia menyerah? Atau kau pukul sampai akhirnya dia memutuskan pergi?” tanya Jisoo setelah beberapa saat terdiam.

Dia sungguh penasaran. Terlebih tampaknya Namjoon pria yang cukup keras kepala. Walau dia tidak mengenal sikap Namjoon—tentu saja karena pria itu yang mendadak membawanya dan memaksanya, padahal mereka tidak saling kenal sama sekali—tapi sikap pria itu yang gigih menunjukkannya.

Seokjin terdiam sejenak. Sesaat berpikir. Jisoo seakan tersadar. Apa pertanyaannya terlalu sensitif? “A-Ah, maksudku, jika memang tidak mau dijawab, tidak perlu dijawab. Aku murni hanya ingin tahu. Jika tidak mau dijawab, maka tidak perlu,” ujarnya cepat. Dia tidak mau ini menjadi pemaksaaan dan keterpaksaan ketika Seokjin mengatakannya.

Seokjin menggeleng. “Tidak masalah. Tadi aku hanya sedang mengingat-ingat.”

Seokjin membantu membereskan peralatan Jisoo yang sudah selesai mengobatinya. Namun dia berhenti ketika Jisoo menggengam tangannya. Dia menatap Jisoo yang tersenyum padanya. “Tak perlu repot-repot, Jin. Aku bisa melakukannya sendiri. Ini semua juga karenaku. Kau diam saja.”

“Astaga, sudah kukatakan bukan kau penyebabnya,” ujarnya seperti tidak suka. Dia kemudian mundur ketika Jisoo yang menggengam tangannya, menjauhkan jarak Seokjin dari meja—dimana peralatan berserakan disana. Selain karena Jisoo mengobati, itu karena Jae yang penasaran apa saja isinya.

Iseul sudah pulang tadi diantar Seokjin. Seokjin mengatakan pada Lisa untuk menjaga putrinya baik-baik. Takut-takut saja pria itu kembali datang. Dia akan fokus menjaga Jae disini karena Jae incaran utama. Jika pria itu mulai mendekati Iseul—yang sebenarnya tidak dilihatnya—maka Seokjin akan datang dan menghajarnya habis-habisan juga sekaligus mewakili adiknya, Jungkook yang pasti marah besar.

“Sudahlah. Lebih baik kau jawab saja pertanyaanku.”

“Ah, aku hampir lupa menjawabnya.” Seokjin kemudian bersandar di sofa. “Tidak banyak sebenarnya. Aku hanya mengatakan padanya perjuanganmu untuk melahirkan Jae, membesarkan Jae. Aku mengatakan, walau Jae anaknya, dia tidak berhak memaksa kembali bersama setelah apa yang dia lakukan, kecuali jika kau menginginkannya. Aku hanya meminta kesadaran dari dirinya sendiri. Sejak dia meninggalkanmu dan tidak bertanggung jawab, semua penderitaanmu adalah salahnya, kau yang berhak untuk menentukan memaafkan atau tidak. Aku mengatakan agar tidak memaksa gila seperti tadi,” ucapnya.

Scenario✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang