Scenario Part 24

262 28 2
                                    

"Jae pokoknya ingin ikut kalau Appa dan Eomma bekerja!"

"Jae."

Jisoo kewalahan sendiri sekarang menghadapi putranya yang bersikeras. Jisoo sudah tahu apa penyebabnya. Semua karena Seokjin. Seokjin yang mendadak mencium Jisoo dan Jisoo terbawa suasana. Lalu, semuanya menjadi berantakan. Padahal mereka sudah selesai dengan urusan mereka. Tapi, mereka malah berkutat dengan urusan lain. Jae menjadi takut mereka pergi terlalu lama bekerja. Jisoo sudah bertekad, dia tidak akan terbawa suasana kalau Seokjin menciumnya lagi.

Berbeda dengan Jisoo, Seokjin malah santai saja. Seokjin malah tersenyum gemas melihat Jae yang bersikeras, walau Jisoo sudah membujuk. Jangan lupa wajah cemberut Jae dan wajah panik Jisoo. Mereka berdua memang pembawa bahagia dalam kehidupan Seokjin. Seokjin bersyukur bertemu dengan mereka. Jisoo akhirnya menyadari juga Seokjin hanya memandang mereka berdua dengan senyuman membuat Jisoo spontan mendengus.

"Kau berniat senyum saja sampai kapan? Kau tidak berniat membantu memberikan pengertian kepada Jae?" sindir Jisoo membuat Seokjin terkekeh kecil.

"Ah, maaf. Habisnya kalian lucu sekali," jawab Seokjin membuat Jisoo mendengus.

Seokjin kemudian mendekat, lalu menghampiri Jisoo dan Jae yang duduk di atas kasur. Ini sudah malam. Namun, Seokjin belum pulang juga. Seokjin menemani Jisoo yang sampai sekarang masih membujuk Jae. Lalu, Seokjin jongkok di hadapan Jae yang masih memasang wajah cemberutnya. Seokjin dan Jisoo tidak mungkin jujur mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Seokjin lalu mengusap lembut kepala Jae, putra Jisoo yang sudah dia anggap sebagai putranya sendiri.

"Jae, dengarkan Appa baik-baik. Kami tidak begini setiap hari." Sekarang Seokjin bergantian untuk memegang tangan Jae. "Kemarin pekerjaan memang sedikit lebih banyak. Kami menjadi sama-sama pulang terlambat. Selanjutnya tidak akan lagi. Appa akan tepat waktu dan menemani Jae. Oke?"

Wajah Jae masih tidak berubah. Masih saja cemberut. "Lalu, Eomma?" tanyanya karena Seokjin hanya membahas mengenai dirinya saja yang tidak akan terlambat. Sedangkan Jisoo tidak.

"Eomma tidak akan bekerja lagi ke depannya. Eomma akan tetap di samping Jae," jawab Seokjin lembut.

"Benarkah?!"

"Iya. Jikapun bekerja, Eomma akan selalu bekerja di sampingmu," jawab Jisoo dengan senyumannya. "Hanya sesekali saja Eomma pergi. Tapi, tidak akan lama," sambung Jisoo karena Jisoo sendiri harus sesekali pergi untuk mengurus penerbitan bukunya kalau ada penerbit yang tertarik atau mungkin sering, namun tidak akan lama.

"Untuk bukumu? Bukankah bukumu sudah diterbitkan?" tanya Seokjin.

"Iya. Sudah. Tapi, aku berniat membuat yang baru."

"Tidak perlu, Jisoo. Kau tidak perlu bekerja. Aku tidak ingin kau bekerja. Jika kau tetap menulis, boleh. Kalau ingin menerbitkan juga boleh, tapi aku mau itu kau lakukan karena hobimu. Bukan karena tuntutan pekerjaan. Bukan karena kau harus melakukannya untuk biaya hidup. Aku yang akan menanggung semua biaya hidup itu."

Jisoo melebarkan mata terkejut mendengar ucapan Seokjin. Jisoo baru saja hendak melayangkan protes, namun Seokjin sudah menatapnya tegas dan berucap tegas juga, "Aku serius, Jisoo. Aku sudah akan menjadi suamimu. Aku tidak ingin kewajibanmu dulunya untuk mencari uang harus kau lakukan lagi. Aku yang akan mengurus semuanya. Aku yang akan mencarikan uang. Aku tidak akan menghentikanmu untuk menulis. Kau juga boleh menerbitkan bukumu. Tapi, lakukan karena kau menyukainya, bukan untuk mencari uang. Mengerti?"

"Tapi, bukankah aku juga boleh membantu? Aku mau bekerja, Seokjin. Membantumu. Bukan hobi. Aku melakukannya karena—"

"Aku tidak menghentikanmu untuk bekerja. Aku tidak menghentikanmu asal itu hobimu. Kau lakukan karena kesenangan. Bukan tujuan bekerja. Jadi, jangan membantahku. Aku tidak mau kau menerbitkan berbagai buku untuk kepentingan hidup."

Scenario✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang