Prisa memulaskan lipstik matte berwarna peach sebagai sentuhan terakhir. Ia menyatukan kedua bibir, kemudian tersenyum sebagai tanda touch up di wajahnya sudah sempurna. Beberapa saat ia mematut diri, mengamati apakah ada sedikit cela di sana. Tak ada.
"Prisa! Ayo, cepetan! Kita tunggu di depan lift, ya!"
Gadis itu terkesiap. Ia segera memasukkan cermin dan lipstik ke kelly bag marun yang berwarna senada dengan rok ruffle-nya. "Ah, iya, Kak! Sebentar!"
Memastikan meja kerja sudah kosong, Prisa bergegas menyampirkan tali tasnya di bahu. Tak lupa ia mematikan iMac sebelum meninggalkan kubikel. Ia mengedarkan pandangan dan tampak ruangan sudah kosong. Oh, jangan sampai ia terlambat!
Kalau saja tadi desain yang harus diselesaikan hari ini sudah diserahkan ke tim programmer, pasti dia bisa pulang lebih cepat. Walaupun sebenarnya bukan pulang, lebih tepatnya datang ke acara makan-makan yang diadakan kantor. Perayaan seribu pengguna aplikasi KawanCeria yang dibuat kantornya dengan rating 4,8 di PlayStore dan 4,7 di IoS merupakan pencapaian tertinggi di kuartal ini. Prisa bangga karena ia adalah salah satu penggagas sekaligus desainernya.
Sepatu kitten heels yang digunakan Prisa menimbulkan bunyi ketukan saat berjalan menuju pintu. Langkahnya yang sedang dipercepat seketika terhenti melihat sesosok gadis berhoodie duduk dalam kubikel di sudut ruangan. Dahi Prisa mengernyit, menyadari ada orang lain selain dirinya yang belum pergi. Dia Gista, desainer grafis juga sepertinya, tetapi berada di tim berbeda. Ia tidak terlalu dekat dengannya.
"Gista? Kok, belum berangkat ke restoran?" sapanya pada rekan kerja yang baru masuk tiga bulan yang lalu.
"Nggak," sahut gadis yang dipanggil Gista itu. Ia tak menoleh sedikit pun pada Prisa, melainkan berfokus pada Nintendo Switch di tangannya.
"Belum terlambat, kok. Ayo, bareng sama aku," ajak Prisa lembut. Masa anak baru tidak ikut makan-makan? Apalagi dia sepupunya CEO. Pasti sangat tidak sopan meninggalkannya sendirian.
"Nggak usah. Aku nggak ikut," jawab Gista datar.
Prisa menghela napas. "Ya udah. Aku duluan, ya," pamitnya seperti bicara sendiri karena Gista tetap diam.
Di depan lift, Kak Tera dan Hana memasang wajah cemberut. "Lama banget, sih?" omel mereka kompak.
"Kelamaan dandan Prisa, mah!" timpal Kak Livi yang asyik menyeruput boba. Wakil CEO yang selalu berpenampilan tomboy itu selalu bergabung dengan mereka, alih-alih dengan para petinggi lainnya.
"Sorry. Tadi ada Gista masih di ruangan. Gue ajak ikut, dia nggak mau," jelas Prisa tanpa diminta.
"Yah, lo kayak nggak tau dia aja. Dia, mah, nggak punya kehidupan!" nyinyir Kak Livi.
"Hus, jangan ngomong gitu, lo! Diaduin ke Mas Rayhan, loh!" Hana menakut-nakuti.
"Aduin aja. Emang bener, kok," tantang Kak Livi. "Pasti Mas Rayhan juga terpaksa masukin dia ke Friendera."
"Udah-udah. Lift-nya udah dateng, nih!" Kak Tera menimpali.
Benar saja. Sesaat kemudian, pintu lift yang sudah terisi beberapa orang dari lantai atas terbuka. Mereka masuk bersama-sama, menyelipkan diri agar tidak berhimpitan dengan yang lain.
Seorang cowok berdasi yang berdiri di pojok lift sebelah kanan mengangguk sambil tersenyum pada Prisa. Ia membalas senyumnya sekadar menghormati sesama pekerja di gedung yang sama, melewati Kak Tera yang berada di antara mereka.
"Ehem!" Perempuan yang hanya setinggi bahu Prisa itu berdeham. Dia melirik galak. "Pris, tumben lo nggak bareng pacar lo? Emang Mas Steve ke mana?" ucapnya dengan suara yang sengaja dibesar-besarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...