Part 8: Night Crime

10.5K 1.7K 57
                                    

"Neng! Ini saya! Jangan takut!" teriak pria dengan suara nyaring yang memegang senter. Sontak Prisa terbelalak demi melihat pria yang mengenakan seragam putih-hitam dengan badge di kemejanya. Jantungnya berdebar keras seperti baru saja dinyalakan bom di dalamnya.

"Ya ampun! Bapak ngagetin aja? Kirain setan! Kenapa muncul tiba-tiba, sih?" jerit Prisa tiba-tiba, tanpa sadar memukulkan tasnya pada petugas keamanan itu.

"Yaelah, Neng! Masa saya dibilang setan!" gerutu satpam itu cemberut. "Justru saya yang kaget! Kok, lift jalan sendiri! Pantes aja lampu atas masih ada yang nyala!"

Prisa memegangi dadanya, menahan jantung yang seolah hendak melompat keluar. Ia melirik Gista yang juga tercengang, wajahnya berubah pucat. Sesaat mereka bertukar pandang, kemudian tertawa bersama. Prisa terbahak-bahak, menyadari ketakutannya yang berlebihan. Bahu Gista juga tampak berguncang, menutup mulutnya dengan tangan sambil membuang muka. Sepertinya ia juga sedang menahan tawa.

"Maaf, ya, Pak. Saya kira setan," ucap Prisa penuh penyesalan.

"Ya udah nggak apa-apa, Neng. Saya mau ke atas dulu, ya. Ngecek sebentar."

Prisa meninggalkan lift yang sudah berpindah posisi ke lantai atas, menuju luar gedung. Seorang satpam lain yang duduk sambil minum kopi dan menonton televisi mini di meja resepsionis, menggoda mereka yang tadi berteriak ketakutan. Prisa membalasnya dengan sedikit candaan. Di depan, sebuah mobil sudah terparkir di pinggir jalan.

"Kak, aku udah dijemput. Duluan, ya," pamit Gista tanpa ekspresi. Namun begitu, Prisa terenyuh juga karena ini pertama kali dia berbicara duluan padanya.

"Iya, hati-hati, Gista," jawab Prisa tersenyum lembut. Gadis berkacamata itu mengangguk, kemudian meninggalkannya yang kini mengusap layar ponsel dan menekan tombol telepon ke nomor Mas Steve. Ia menempelkan benda itu di telinga sambil mendengarkan nada sambung yang dipasang cowoknya itu.

Baru saja berjalan lima langkah, tiba-tiba Gista berbalik. Berlatar kegelapan malam, untuk pertama kalinya, Prisa melihat gadis itu memilin jemari sambil berkata terbata. "Ehm ... anu, Kak Prisa," jeda beberapa saat, "Te—terima kasih."

Desiran halus terasa di hati Prisa. Ternyata, gadis sekaku Gista bisa berubah juga. Ia tersenyum, membalas ucapannya dengan nada riang. "Sama-sama, Gista."

Gista mengangguk, kemudian berlari menuju mobil. Di kursi depan sebelah supir, tampak seorang pria paruh baya membuka jendela menyambutnya. Gadis itu masuk dan duduk di kursi belakang, kemudian ikut membuka jendela. Pria paruh baya yang duduk di depan—Prisa menduga itu ayah Gista—melambaikan tangan dan tersenyum hormat. Sementara anaknya, hanya mengulum senyum sambil mengangguk.

Mendapati keberhasilan mendekati anak baru yang selama ini sangat sulit bergaul itu memberikan kebahagiaan tersendiri di hati Prisa. Ia sungguh tak tega melihat gadis itu selalu sendiri dan tak punya teman. Pengalaman menjadi korban perundungan saat SMP dahulu telah membuka hatinya. Ia tak ingin melihat ada orang lain yang bernasib sama dengannya: sendirian, dikucilkan, dan tiada berkawan.

Nada sambung yang berbunyi di ponsel Prisa tiba-tiba terputus. Ia mengernyitkan dahi kala menyadari Mas Steve tidak mengangkat teleponnya. Mencoba menghubunginya kembali, lagi-lagi tidak ada jawaban. Ia menunggu sampai beberapa lama, tetap tidak terangkat. Apa kekasihnya itu ketiduran? Mungkin saja, sejak pagi dia sudah banyak kegiatan. Sebenarnya kasihan juga membangunkannya, tetapi dia sendiri yang berpesan untuk menelepon jika sudah selesai.

Sebuah sepeda motor sport tiba-tiba mendekat ke arahnya yang kini sudah berdiri di ujung tangga. Pengendaranya memakai jaket kulit hitam yang fit di badan, berpadu dengan celana jeans biru. Di kepalanya terpasang sebuah helm full face berwarna biru berpadu kuning. Jantung Prisa tercekat, apakah Mas Steve menjemputnya menggunakan motor? Namun seingatnya, cowoknya tidak punya kendaraan itu.

Copycat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang