Prisa turun dari taksi daring di depan lobi sebuah mall di bilangan Jakarta. Suasana cukup ramai, mungkin karena sudah masuk jam pulang kerja. Ia melirik ke kiri dan kanan, mencari sosok Gista. Ternyata gadis itu belum turun dari mobil.
"Gis, ayo!" ajak Prisa dari kaca jendela. Pak Supir juga beberapa kali menanyakan apakah Gista mau turun atau memesan jasa pengantaran ke tempat lain.
Gadis berkacamata itu meremas-remas jemari tangannya sambil menunduk. "Ehm, aku ... apa nggak jadi aja, ya?"
Mata Prisa terbelalak. "Kenapa? Kan, tadi kamu yang ajak?" ungkapnya menyembunyikan nada kekecewaan dalam suaranya. Padahal, ia sudah membatalkan janji dengan Mas Asa demi menemaninya.
"Aku ... apa nggak apa-apa?" desahnya pelan dan tidak jelas.
"Hei, jangan begitu, Gis! Katanya mau berubah demi Mama Papa. Ayo, tanggung, udah sampai sini!"Prisa masih berusaha membujuk gadis itu. "Kasihan Bapak Grab-nya juga, mau cari penumpang lain."
Gista tampak menghela napas. "Ya udah, deh," ucapnya lemas.
Menggaruk-garuk kepala, Prisa masih tak mengerti dengan jalan pikiran Gista. Tadi dia begitu bersemangat, sekarang terlihat seolah ia yang memaksa cewek itu. Ia hanya bisa membuang napas kasar dan tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Pak Supir yang sudah sabar menunggu.
Berjalan gontai, Gista seperti kehilangan seluruh tenaganya saat mereka memasuki area pusat perbelanjaan itu. Prisa tak ingin membuat suasana belanja yang seharusnya menyenangkan menjadi muram. Ia mengajak Gista melipir ke sebuah coffee shop, kemudian mengajaknya memesan minuman. Tentu saja Prisa memesan chocolate hazelnut kesukaannya, sementara Gista memesan caramel machiato. Mereka menempati kursi di sudut sambil menunggu minuman pesanan mereka dibuat.
"Gista, kenapa kamu jadi nggak semangat begini?" Prisa membuka percakapan. "Tadi kamu semangat banget pas makan siang?"
Bibir Gista tampak mengerucut ke depan. "Itu ... aku tadi pikir-pikir lagi. Apa sebaiknya aku nggak usah aja, ya? Bagaimana kalau misal aku udah berubah, tapi Mama sama Papa tetap nggak suka?"
"Gista ...," Prisa menjaga nada suaranya setenang mungkin setelah menghela napas panjang. "Orang yang sayang sama kita akan selalu mendukung kita. Mama Papa kamu, kan, sayang sama kamu. Mereka akan mendukung apa pun keputusan kamu. Begitu juga aku. Aku nggak akan maksa kamu buat nerusin rencana beli baju kalau kamu nggak mau. Aku cuma mau dukung kamu dan bikin kamu nyaman."
"Tapi ... kita udah sampe sini. Apa Kakak nggak apa-apa?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
Sesungguhnya, dalam hati Prisa menyayangkan janji yang sudah direncanakan terlewat begitu saja. Namun, ia tak mau membuat Gista lebih sedih lagi.
"Ya ... nggak apa-apa. Kita senang-senang aja. Makan-makan, nonton, atau kamu mau main di Timezone?"
Mata Gista mendadak dipenuhi binar cerah. "Mau, Kak!" pekiknya seperti anak kecil. "Ah, aku sayang banget sama Kakak!"
Prisa tersenyum. Gista ingin memeluknya, tetapi nama mereka yang disebut barista membuatnya urung. Mereka mengambil pesanan, kemudian meninggalkan toko dan berjalan bersama menuju pusat permainan. Sepanjang jalan, Gista merangkul lengan Prisa erat sambil terus berceloteh riang. Berusaha menanggapi, Prisa tetap tak dapat mengejar perubahan topik yang dengan cepat dilakukan gadis itu. Apalagi dia juga heran, entah mengapa suasana hati Gista cepat berubah-ubah. Sebentar dia murung sampai menekuk wajahnya menjadi seribu bagian, sebentar kemudian gembira seperti baru saja menang lotre satu miliar rupiah.
Seolah baru pertama kali mendatangi pusat permainan, Gista seperti anak kucing yang dilepas dari kandang. Dia menjajal semua jenis arcade, bahkan mobil-mobilan khusus anak-anak. Awalnya Prisa enggan saat diajak bermain, ia lebih memilih duduk menunggu karena mengenakan rok midi yang cukup ketat. Namun berkat paksaan Gista, ia jadi ikut memainkan permainan yang tidak terlalu sulit. Mereka memainkan arcade Street Basketball, Maximum Tunes, Air Hockey, House of Dead, dan Street Fighter. Terakhir, mereka bermain Dance Dance Revolution yang tanpa terduga, dimenangkan oleh Prisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...