Prisa berjalan menunduk di sebelah Mas Bagas yang menjulang tinggi. Tangannya saling memilin, keringat dingin mengucur keluar. Ia menggigit bibir, menahan desakan rasa malu sekaligus takut. Sungguh canggung rasanya berjalan di samping atasan setelah melakukan kesalahan.
"Harusnya kamu nggak begitu, Prisa," Mas Bagas membuka suara, "Kamu tau, kan? Ini ruang publik. Ada norma dan etika yang harus dijaga."
Seperti ada panah tak kasat mata, komentar Mas Bagas langsung menusuk hati Prisa. Ia tahu, perbuatan tadi memang salah. Namun, ia tak mau dicap sebagai gadis murahan yang suka bermesraan di tempat umum. Paling tidak, ia harus menyanggah sesuai dengan kejadian sebenarnya.
"Itu ... tadi ... bu–bukan aku. Maksudku, aku udah coba bilang ke Mas Steve, tapi dia nggak mau dengar," Prisa tergagap. Duh, sekarang dia malah seperti mengadukan keburukan cowoknya.
"Iya, saya yakin sebenarnya kamu nggak kayak gitu," ujar Mas Bagas sedikit melunak. "Kamu anak baik, Prisa. Pintar, berbakat juga. Sayang banget kalau sampai ada skandal buruk cuma karena kamu nurutin Steve."
Mata Prisa berkaca-kaca. Teguran yang disisipi pujian dari Mas Bagas merasuk dalam kalbunya. Biasanya, alumni terbaik jurusan IT itu hanya peduli pada urusan pekerjaan. Kalau ia sampai berbicara tentang kehidupan pribadi, mungkin benar kalau tindakan Prisa sudah kelewatan.
"Maaf ...." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Prisa. Kepercayaan dirinya merosot drastis sampai ia tak sanggup berkata-kata.
Desahan napas terdengar dari mulut Mas Bagas. "Saya ngomong gini bukan karena saya marah sama kamu, Prisa. Atau baper apalah itu karena habis putus. Nggak. Saya cuma khawatir karena semenjak kamu pacaran sama Steve, banyak omongan nggak enak tentang kamu yang masuk kuping saya. Saya nggak suka itu. Apalagi saya tau, kamu bukan orang yang seperti itu."
Prisa terlonjak, napasnya tertahan. "Omongan apa, Mas?"
"Yah, adalah ...," kilah Mas Bagas. "Beruntung kamu dekat sama Livi, jadi dia yang selalu counter kalo ada yang lagi ngomongin kamu. Tapi nggak selamanya bisa begitu, kan? Kamu juga harus berubah."
"Oh, ya? Tapi Kak Livi nggak pernah bilang sama aku," pekik Prisa spontan. Ia tak menyangka kalau wakil CEO itu turun tangan langsung membelanya. Apa jangan-jangan, seisi kantor sudah mengetahui skandalnya? Hanya dia sendiri yang tak menyadari karena sedang dibutakan oleh cinta.
"Livi pasti punya alasan, kamu tanya aja langsung sama dia. Intinya, saya, Livi, dan semua orang yang peduli sama kamu, nggak mau ada hal buruk yang bakal terjadi sama kamu."
Belaian lembut terasa di hati Prisa. Ternyata, di belantara Jakarta ini, tempat di mana ia mengadu nasib sendiri, ada orang-orang yang memberikan perhatian untuknya. Ia benar-benar tak ingin membuat mereka kecewa kalau sampai ia melakukan kesalahan fatal.
Meskipun begitu, bukankah ini sebuah ironi? Mereka berusaha melindungi dirinya dari pacar sendiri.
"Makasih, Mas," ucapnya tulus. Kalau saja atasannya itu perempuan, pasti ia sudah memeluknya.
"Ya," sahut Mas Bagas singkat.
Mereka sudah tiba di deretan kubikel tempat bekerja divisi IT. Prisa pamit menuju mejanya, kemudian membanting tubuh di kursi. Ia membuang napas kasar sambil memijat pelipis pelan. Kejadian ini benar-benar menghancurkan semangat di pagi hari.
"Loh, mana cokelatnya?" tanya Kevin yang menjulurkan kepala dari balik kaca pembatas meja mereka.
Prisa terhenyak. Ia baru ingat tadi tujuannya ke pantri adalah untuk membuat cokelat. Namun, jangankan ingat membawa minuman itu. Bisa mencegah pertengkaran lebih parah antara Mas Bagas dan Mas Steve saja sudah ia syukuri setengah mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
Storie d'amoreGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...