Part 9: Book Cover

10.5K 1.8K 70
                                    

Prisa membuang muka, mengalihkan pandangan pada poster gambar saluran pencernaan yang ada di dinding. Sesaat kemudian ia beralih pada replika ginjal yang tergeletak di atas lemari, kemudian pada stetoskop yang tergantung di dinding. Pindah lagi, kali ini ia melotot pada lemari pajang yang penuh berisi obat-obatan.

Pada akhirnya, semua itu terasa percuma karena bagaimanapun ia berusaha menghindar, tatapannya kembali pada gundukan otot abdomen yang membentuk kotak-kotak di bawah dada bidang milik Si Tukang Pizza.

Maafin aku, Mas Steve. Aku cuma lihat sebentar, kok. Tapi nggak tau kenapa, tukang pizza ini emang beneran ganteng!

Berkali-kali merapal mantra sepertinya tak cukup untuk membuat otak Prisa kembali waras. Apalagi ia dipapah oleh tukang pizza itu dan juga satpam menuju klinik dua puluh empat jam yang terletak di seberang jalan. Sungguh ironi, yang luka berdarah-darah adalah Si Tukang Pizza, tetapi malah dia yang memaksa ingin menggendong Prisa sampai sini. Tentu saja ia menolak, siapa yang tega digendong orang yang luka? Ia bersyukur ada Pak Satpam yang membantu memapah, sehingga ia bisa menolak ide berada dalam pelukan pria berotot itu yang mungkin bisa membuat jantungnya meledak. Namun sayang, pria paruh baya itu sudah kembali ke gedung karena dipanggil temannya sehingga tidak bisa menemani di sini.

Wajah tukang pizza itu meringis saat jarum dan benang menelisik kulitnya yang robek akibat sabetan benda tajam. Dokter sudah menyuntikkan serum antitetanus setelah pria itu menceritakan kronologis kejadian bagaimana golok tajam menembus jaket kulitnya yang tebal. Beruntung hanya ada ada dua satu sabetan di lengan kanan atas saat ia menangkis serangan yang dilancarkan para pencuri—atau bisa dibilang begal—laknat itu.

Menyerah untuk mengalihkan pandangan, Prisa membiarkan matanya menilai lebih jauh pria itu. Kulitnya yang sawo matang bersih terawat, membalut otot yang tampak terlatih karena begitu kekar. Tubuhnya tinggi, mungkin sekitar 180 atau 190 cm, dengan bentuk tubuh proporsional. Alisnya sangat tebal, hidung mancung bertengger di tengah rahang perseginya. Dan jangan bicarakan lesung pipinya, Ya Tuhan, Prisa bisa meleleh dibuatnya.

Bukan hanya rupanya yang membuat hati Prisa sedari tadi bergejolak, tetapi juga keberaniannya. Tukang pizza itu rela menolongnya, yang bahkan belum ia tahu namanya, sampai tubuhnya terluka. Ia juga menghadapi penjahat itu dengan tangan kosong dan berhasil mendapatkan kembali ponselnya. Entah bagaimana ia harus berterima kasih pada orang yang berani mengorbankan nyawa demi ponselnya yang tidak seberapa berharga. Tak berhenti sampai di situ, dia memaksa pada dokter dan perawat untuk menangani Prisa dengan cepat, tak peduli walau dia yang terluka lebih parah. Hingga akhirnya, dokter dan perawat membagi tugas untuk menangani mereka bersama dalam satu ruangan yang sama.

"Sudah selesai!"

Kesadaran Prisa seolah ditarik paksa, membuatnya tertegun sesaat. Ia ternganga, menatap wanita paruh baya berkerudung yang mengenakan seragam putih-putih di depannya. "Ya?"

"Sudah selesai dibebatnya. Ini cuma terkilir ringan aja, kok. Dua tiga hari biasanya udah sembuh. Nanti tidur kakinya diletakkan agak tinggi, ya, biar nggak bengkak. Nanti obat nyerinya diresepin sama dokter selesai jahit luka Masnya," terang perawat itu.

"Ah, iya. Makasih banyak, ya, Bu Suster," ucap Prisa tulus.

Seketika keributan terjadi di luar. Perawat segera meninggalkan ruangan dan tak lama masuk kembali bersama seorang pria tua yang terluka di dahi serta wanita yang digotong warga. Jantung Prisa berdebar seketika.

"Mbak, maaf, tolong tunggu di luar, ya. Ada pasien kecelakaan!" perintah perawat sambil membantu Prisa turun.

"Iya, nggak apa-apa, Bu," ujar Prisa segera menggeser tubuh untuk turun dari ranjang. Tak lupa ia berpamitan pada tukang pizza dan mengatakan akan menunggunya di luar.

Copycat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang