Lima belas menit menunggu di bawah pohon akasia yang rindang, sebuah mobil Mercedes berhenti di depan Prisa. Pintu mobil dibuka dan seorang cowok memakai kacamata hitam dan jaket kulit, turun dan menghampirinya.
"Prisa, sudah lama nunggu, ya?" tanya laki-laki itu sambil melepas kacamata hitamnya.
Jantung Prisa berdegup keras saat menyadari kalau pria itu adalah Mas Asa. Astaga! Apa ia tak salah lihat? Sebenarnya, penampilan pria itu mirip saat pertemuan mereka di malam lembur. Namun, entah kenapa ia sekarang jadi terlihat lebih berkharisma? Apa karena ia datang mengendarai mobil mewah itu?
"Ng–nggak, kok!" sahut Prisa terbata. "Ehm, ini beneran Mas Asa?"
Pria itu tertawa, lesung pipinya terlihat jelas dan membuatnya semakin manis. Astaga! Jangan sampai ia mimisan seperti yang biasa terjadi pada karakter perempuan di komik saat melihat ketampanan tokoh utama pria.
"Memangnya ada lagi yang mau jemput kamu, ya?" Dia balik bertanya.
"Ehm ... nggak, sih," gumam Prisa mengalihkan pandangan.
"Nah, kalau gitu. Ayo, cepat masuk ke mobil. Kamu pasti capek udah nunggu dari tadi!"
Mas Asa membukakan pintu untuk Prisa. Gadis itu berterima kasih, kemudian duduk dengan canggung di jok yang terasa empuk itu. Jantungnya terus berdebar, entah karena ini pertama kalinya dia semobil berdua dengan pria lain selain pacarnya, atau karena pria yang duduk di sisinya sangatlah bercahaya. Dia jadi tidak bisa berkata-kata, padahal setidaknya harus mengucapkan terima kasih karena Mas Asa sudah bersedia menjemputnya.
"Uhm, tadi, CEO penerbit ajak makan siang bareng. Apa kamu nggak keberatan?" tanya Mas Asa lembut. Dari ekor mata, Prisa dapat merasakan tatapan pria itu terarah padanya.
"Apa nggak apa-apa? Maksud saya, penampilan saya kucel begini," bisiknya seraya tertawa hambar, meratapi wajah pucat yang tadi terpantul di cermin toilet. Dia tak membawa peralatan make up sekadar untuk touch up.
"Eh, kucel gimana? Prisa cantik, kok," sergah Mas Asa cepat. Mau tak mau Prisa menoleh dan terlihat mata teduh pria itu menatapnya serius. "Kamu memang terlihat sembab, saya tahu kamu habis menangis. Dan itu wajar, ketika pacar kamu lebih memilih bersama gadis lain ketimbang bersamamu. Jadi, nggak usah ditahan, Prisa. Keluarin aja emosimu, saya ada di sini untuk nemenin kamu."
Bibir Prisa bergetar, matanya seketika diselubungi cairan panas. Ia menutupi wajah dengan tangan, menumpahkan air mata yang sedari ditahan. Beban menyesakkan yang menggerogoti dadanya kini meluap dalam isakan, amarah yang membara pecah dalam tangisan. Ia tak sanggup berkata-kata, hanya membiarkan waktu menguapkan kebisuan.
Prisa sudah menceritakan perihal kekasihnya yang memilih untuk mengantarkan gadis peniru dirinya di telepon tadi. Tanpa disangka, Mas Asa langsung menawarkan untuk menjemputnya saat itu juga. Pria itu memintanya menunggu, sementara pergolakan batin terjadi dalam hati Prisa. Ia khawatir kalau tiba-tiba Mas Steve datang menjemput, sedangkan ia tidak ada karena pergi dengan pria lain. Namun, mengingat perlakuan pacarnya yang menomorduakan dirinya, hatinya tidak ragu lagi. Lebih baik ia pergi bersama Mas Asa dan membuktikan kalau ia juga bisa membalas perbuatan laki-laki itu!
Entah berapa lama Prisa menangis hingga dadanya terasa sedikit lebih ringan. Ia membuka telapak tangan yang menutupi wajah, kembali pada realita dengan siapa ia bersama. Rasa malu yang sempat hilang kini kembali menyergap. Apalagi saat melihat Mas Asa mengangsurkan tisu ke depannya.
"Maaf," gumamnya dengan suara serak. Ia menyeka air mata dan membersit ingus yang ikut keluar saat menangis tadi. Penampilannya kini sungguh sangat porak poranda, seperti baru saja naik roller coaster dan diputar-putar di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
Storie d'amoreGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...