Prisa baru menghabiskan setengah porsi steak dan perutnya sudah terasa penuh. Kalau saja dia tidak peduli dengan apa yang dinamakan mubazir, ia enggan menyantap makanan seharga ratusan ribu itu. Bukan karena daging bakar berbalut saus mushroom itu tidak enak—bahkan dari aromanya saja sudah membuat air liur menetes—tetapi saat ini mood-nya sedang terjun bebas. Sejak kejadian di parkiran, Mas Steve terus merayunya agar tak marah, tetapi hatinya sudah terlanjur panas. Apalagi menyadari kalau pria yang dicintainya punya track record 'having fun' dengan banyak wanita. Walaupun sekarang dia bilang tidak lagi karena sudah punya pacar, tetap saja hati perempuan mana yang bisa tenang?
Seharusnya sekarang ia sedang berbangga hati akan keberhasilan menggaet proyek ratusan juta! Uh, menjengkelkan!
"Kok, nggak diabisin, Sayang? Biasanya kamu suka steak?" tanya Mas Steve memiringkan kepala.
"Aku udah kenyang," jawab Prisa singkat. Sesungguhnya, ia suka semua makanan, apalagi kalau yang gratis. Kalau saja boleh, rasanya ia ingin membungkus sisa steak untuk dimakan sore hari. Namun, ia tak mau merendahkan posisinya di hadapan Mas Steve. Dalam kondisi kekurangan pun, ia tak akan memintanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Duh, jangan gitu, dong, Sayang. Makan yang banyak, ya. Kan, dari siang belum makan," bujuk pria itu lembut. "Apa mau ditambah saus? Atau mau pesan minum lagi?"
"Nggak, Mas. Sudah cukup. Aku mau balik ke kantor," sahut Prisa dengan nada suara sedikit melunak. Bagaimanapun, perhatian Mas Steve selalu sukses menyentuh hatinya. Itu pula alasan awal mula ia jatuh cinta padanya.
"Ya udah. Kamu beres-beres aja. Aku bayar dulu, ya," ucap Mas Steve sambil mengusap pucuk kepala Prisa. Senyumnya yang lembut mendinginkan hati yang sedang dilanda angkara. Uh, bagaimana ia bisa marah kalau mendapat perlakuan manis seperti ini?
***
Genggaman Mas Steve terasa hangat melingkupi tangan mungil Prisa. Pandangan pengunjung mall yang melihat mereka entah bagaimana membuat gadis berambut ikal itu merasa bangga. Bagaimana tidak? Ia bersanding dengan sosok pria yang menarik perhatian para wanita. Tinggi, putih, dan mempesona. Yang lebih penting, Prisa yang berada di sisinya.
"Sayang, lihat itu, deh!" Mas Steve menghentikan langkah, menunjuk pada sehelai gaun di dalam sebuah toko yang terletak di sebelah mereka. "Bagus, ya, gaunnya. Apalagi kalau kamu yang pakai."
Gaun bodycon berwarna merah marun yang ditunjuk Mas Steve memang tampak menjadi primadona. Dengan model off-shoulder dress yang menampilkan bahu terbuka, bagian dada gaun itu juga dibuat rendah dan memperlihatkan lekuk tubuh dengan sempurna. Bahkan, terpasang di manekin saja sudah membuatnya tampak luar biasa.
"Iya, bagus," gumam Prisa dengan mata berbinar. "Tapi ... kayaknya terlalu terbuka. Aku lebih suka yang di sebelahnya."
Prisa menunjuk lace dress berwarna hitam dengan potongan high-low berbentuk A-line. Lengannya yang sebatas siku tetap menampilkan kesan sopan meski bagian pundaknya sedikit lebar. Dilengkapi dengan ikat pinggang satin dengan kepala bertahta berlian, gaun ini memancarkan kesan manis sekaligus elegan.
"Nggak masalah yang mana aja kalau kamu yang pakai, Sayang. Kamu cantik pakai gaun apa aja. Kamu mau? Kita beli, yuk!" ajak Mas Steve menggandeng tangan kekasihnya menuju toko.
"Eh, tunggu, Mas!" tahan Prisa. "Ehm, aku nggak mau beli, kok. Aku cuma suka lihatnya aja."
"Kenapa? Aku mau beliin buat hadiah kamu, Sayang. Nanti kamu bisa pakai pas nikahan Tera. Pasti cantik."
"Nggak, Mas. Beneran. Kan, Mas Steve udah banyak beliin aku baju juga," tolak Prisa. Ia melingkarkan tangannya pada lengan pria itu, kemudian menariknya menjauh dari toko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...