"What if we rewrite the stars?
Say you were made to be mine,
Nothing could keep us apart,
You'd be the one I was meant to find.
It's up to you, and it's up to me,
No one can say what we get to be,
So why don't we rewrite the stars?
Maybe the world could be ours,
Tonight."
Lagu Rewrite the Stars yang dinyanyikan oleh Zac Efron dan Zendaya menemani Prisa saat membuat background bertema kafe untuk aplikasi Friendship. Original Soundtrack film The Greatest Showman yang ditontonnya bersama Mas Steve seminggu lalu itu sudah diputar lebih dari seratus kali olehnya. Terkadang ia melirik sekilas video klip lagu itu, memandangi wajah Zac Efron yang selalu menyegarkan mata. Sesaat kemudian, dia menepuk dahi karena menyadari kelemahannya saat melihat cowok tampan.
Duh, ingat, Prisa! Kamu udah punya pacar!
Gadis yang sudah mencepol rambut panjangnya itu meletakkan Apple pencil di sebelah drawing pad selesai memberikan sentuhan terakhir pada gambarnya. Ia melepas headset yang tersangkut di telinga, kemudian menenggak air mineral dalam botol. Selepas itu, tangannya meregang ke atas, saling memilin, kemudian mencondongkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Ia juga mematahkan lehernya ke samping, menyingkirkan rasa pegal yang mendera. Setelah kekakuan di badannya sedikit mereda, ia bangkit dari kursi dan memandang sekitar ruangan yang kosong tak berpenghuni.
Satu-satunya yang tersisa di ruangan adalah Gista. Gadis berkacamata tebal itu mengerutkan dahi saat pikirannya fokus pada layar komputer di depannya. Prisa menghampirinya seraya memperhatikan lebih jelas penampilan gadis itu—yang biasanya hanya ia pandang sambil lalu. Kulitnya putih, dengan rambut lurus yang dipotong pendek sebawah telinga. Bibirnya tipis, pipinya chubby. Kacamata tebal yang digunakan tak bisa menutupi mata kecil dan alis tipisnya. Tubuhnya sedikit padat, terbalut dengan hoodie berwarna hitam bertuliskan GAP besar di bagian depan.
Kalau dilihat lagi, Gista lumayan imut dengan tubuh mungil dan sedikit berisi.
Prisa menghentikan gerakan kaki saat berada dua langkah di sebelahnya. Ia membasahi bibir seraya berdehem. "Hai, Gis. Udah selesai gambar karakternya? Aku udah selesai buat background kafenya, barangkali mau di-matching-in?"
"Belum," sahutnya tanpa menoleh.
Meneguk ludah, Prisa berusaha menenangkan hatinya agar tak tersulut emosi. Posisinya sekarang dia yang membantu, tetapi kenapa ia juga yang harus speechless berhadapan dengan cewek ini? Padahal siang tadi, ia berhadapan dengan komisaris utama dan bicaranya lancar-lancar saja.
Ia tak boleh menyerah. Mungkin, ia hanya perlu sedikit pendekatan lain agar Gista mau sedikit terbuka dengannya. Paling tidak, selama mereka mengerjakan proyek ini. Kalau sampai terjadi miss komunikasi lagi seperti yang terjadi diantara Gista dan Mbak Mira, bisa jadi kerja lembur yang sudah dilakukannya akan sia-sia.
"Sudah ada yang jadi belum? Coba aku lihat!" Prisa mencondongkan tubuh ke layar komputer Gista. Tampak karakter cewek dengan tubuh indah dan wajah cantik dan manis mengenakan gaun berwarna magenta. Di sebelahnya, gambar cowok berotot juga yang baru jadi setengah badan. "Wah, gemas banget karakternya! Ini bagus banget. Kamu semua yang gambar?" tanyanya seraya memandang gadis itu.
Mata Gista membola seiring pipinya yang merona. Ia mengangguk sambil berkata pelan. "Iya."
"Keren asli, Gis!" puji Prisa tulus. "Aku belum bisa bikin karakter cantik dan elegan gini. Biasanya bikin karakter lucu dan gemas buat anak-anak. Kebayang pasti nanti yang pake appsnya bakalan suka!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...