"Eh, ada zombie!"
Teriakan Kak Tera sontak membuat Hana dan Kak Livi menoleh ke arah Prisa. Gadis itu berjalan gontai dengan setengah nyawa yang seolah hilang ke angkasa. Kepalanya terasa berat, sesekali ia menguap. Bayangan kasur berantakan yang tadi ditinggalkan masih belum mau enyah dari otaknya.
Dengan segenap kesadaran yang tersisa, Prisa menghampiri ketiga temannya yang sedang duduk di lobi gedung kantor.
"Lo kenapa, deh, Pris? Udah kayak abis mabok tau!" teriak Kak Livi. "Padahal kita mau jalan ke IF, lo malah kayak pohon kurang air gitu!"
Mengucek mata, Prisa kembali menguap sampai rahangnya terbuka lebar. Ia menutupinya dengan tangan sambil menepuk-nepuk bibirnya pelan.
"Gue ngantuk banget, Kak. Semalam baru pulang jam satu," ujarnya kembali menguap.
"Jam satu? Emang lo habis ngapain? Jangan bilang lo sama Steve--"
"Nggak, kok!" tukas Prisa cepat. "Semalam gue pergi sama Gista."
"Gista?" Ketiga orang di depannya membeo dengan mata terbelalak.
"Iya. Semalam dia ajakin nonton film, terus jalan-jalan cari makanan," gumamnya memijat pelipis.
"Astaga! Pris! Kan, udah gue bilangin lo masih ngeyel aja!" pekik Kak Livi bertolak pinggang.
"Tau, nih. Prisa sekarang ke mana-mana sama Gista mulu! Malah dua hari kemarin makan siang sama dia terus. Makan malam juga," timpal Hana cemberut.
Kak Tera bersedekap sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Lo jadi kayak emaknya dia tau, Pris. Ke mana-mana ditempelin terus."
Pusing dengan semua gerutuan teman-temannya, Prisa menggaruk-garuk kepala sampai rambutnya acak-acakan. "Gimana, dong? Gue juga bingung ini," desisnya muram.
"Lagian, gimana, sih, awalnya lo bisa deket sama si creepy itu? Dari kemarin mau tanya nggak sempet terus gara-gara lo nempel mulu sama dia kayak kentut sama t*i!" umpat Kak Livi.
Mulut Prisa seolah bergerak sendiri saat menceritakan awal mula mimpi buruknya ini. Mulai dari pertama kali mereka makan bersama saat yang lain datang di acara Belajar Bersama, hang out di mall, sampai dia datang ke rumahnya untuk make over.
Tak lupa ia juga membahas kejadian tiga hari lalu saat perayaan ulang tahun Mas Bagas. Rencananya untuk bicara baik-baik dengan Gista buyar karena Mas Rayhan berpesan untuk menjaga hubungan dengan sepupunya itu agar tidak terjadi masalah serupa.
Belum lagi cewek itu selalu menempel padanya seolah di tubuhnya ada madu yang membuat serangga merasa lengket. Dia terus berceloteh tentang berbagai hal dalam hidupnya, tak memberikan Prisa kesempatan untuk membuka mulut. Jika ada perkataan atau tindakannya yang tak sesuai, gadis itu merajuk. Hasilnya, mau tak mau, ia mengikuti semua kemauannya yang seolah tiada ujung.
Sekarang, jiwa dan raga Prisa terasa begitu lelah menghadapinya.
"Loh, kalian belum berangkat?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang Prisa.
Keempat gadis itu saling bertatapan, tubuh mereka menegang. Prisa berbalik dan tampak Mas Rayhan sudah berdiri di belakangnya. Astaga! Apa dia tadi mendengar semua perkataannya?
"Eh, ini baru mau jalan, kok, Mas," ucap Kak Tera gugup. Dia melirik jam tangan. "Oh iya, udah setengah tujuh! Yuk, jalan!" ajaknya salah tingkah.
"Oke, ketemu di sana, ya! Gue duluan!" pamit Mas Rayhan sambil melambaikan tangan. Sejurus kemudian, dia mengeluarkan ponsel dari saku jas dan mengutak-atiknya.
"Mas Rayhan nggak denger, kan?" bisik Hana gemetar.
"Ahelah! Nggak usah takut, sih!" cetus Kak Livi. "Udah, yuk, cabut! Gue ambil mobil dulu, ya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...