Jantung Prisa berdebar keras saat memasuki ruangan CEO Friendera. Ketegangan pekat mengapung di udara, dipancarkan oleh Mas Rayhan yang menyandarkan badan di depan meja. Sebelah tangannya memegang ponsel, satunya lagi memijat pelipis pelan.
"Mas Rayhan," sapa Prisa dengan suara serak.
"Come in, Pris," panggilnya melirik sekilas ke arah Prisa, kemudian kembali menekuri ponsel.
"A–ada apa, Mas?" gagap Prisa tak dapat menutupi kegugupannya. Meskipun sebenarnya, dia sudah tahu kalau pria itu pasti akan membahas masalah Gista.
Desahan keras keluar dari mulut Mas Rayhan. "Lo kemarin hang out sama Gista?"
"Iya."
"Gue nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba jadi berubah gitu. Ternyata gara-gara lo?" Mas Rayhan bersedekap sambil menaikkan sebelah alis.
"Itu dia yang mau, Mas. Dia yang minta aku buat temenin beli baju dan make up. Aku juga nggak tau kalau jadinya bakal begini," sesal Prisa. "Aku benar-benar minta maaf."
"To be honest, gue happy, Pris, karena lo mau nemenin Gista. Finally, she got a friend here. But, gue nggak expect dia bakal berubah drastis kayak gini."
Sesungguhnya, Prisa sendiri juga bingung akan perubahan sikap Gista yang sebelumnya tak acuh pada apa pun itu. Namun kini, dia memiliki keinginan untuk mengubah penampilan. Bukankah itu baik?
"Aku nggak tau seharusnya boleh bilang ini atau nggak ke Mas Rayhan, tapi ... kemarin Gista bahas soal Mama dan Papanya yang mau dia berubah," jelas Prisa menjaga nada suaranya setenang mungkin.
"Nah, itu dia masalahnya!" tukas Mas Rayhan keras, membuat Prisa tersentak. "Asal lo tau, Pris. Om Haryo dan Tante Harti itu berharap banget sama Gista, the one and only anak yang mereka punya. They really hope that one day, Gista bisa nerusin usaha Om Haryo. Tapi ... kayak yang lo tau, Gista itu susah bergaul. Lebih seneng main gim di rumah. Makanya mereka minta gue buat kasih dia kerjaan supaya dia bisa belajar sosialisasi dan tanggung jawab," terangnya panjang lebar. Dia memijat dahinya pelan.
"Iya, Mas. Gista juga cerita tentang itu," respon Prisa pelan.
"Dan masalahnya lagi, orang tua Gista yang dulu dorong gue buat bikin start up dan kasih modal awal di saat ortu gue nentang," tambahnya parau.
Prisa menelan ludah. Ia mengusap tengkuk, tak nyaman mendengar pembicaraan yang bersifat pribadi ini. Entah apa yang membuat Mas Rayhan tiba-tiba curhat mengenai masalah keluarga pada dirinya, bawahan di kantor yang bahkan tak dekat dengannya.
"Sekarang nyokapnya teleponin gue terus, nanya kenapa anaknya tiba-tiba pulang lagi dan nangis ngurung diri di kamar. Dia nggak tenang mau pergi ke Aussie katanya, ninggalin Gista lagi kayak gitu. Gue juga nggak bisa nemenin dia. Gue mau pergi sama Steve, ketemu founder Yayasan Cendekia Mulia Akademi buat bahas virtual school. I have no time buat ngurusin beginian," keluh Mas Rayhan seraya membuang napas kasar.
"Kalau begitu ... apa ada yang bisa kubantu, Mas?" tanya Prisa hati-hati.
"Gini aja, Pris. Lo dateng ke rumah Gista, temenin dia. Nanti sekalian gue sama Steve anterin sebelum berangkat ke Cendekia Mulia. Gimana?" tawar Mas Rayhan.
Menunduk, Prisa mengeluarkan napas panjang sambil mempertimbangkan permintaan bosnya. Mungkin, inilah jalan yang harus dilakukan. Ia bisa menghibur Gista sekaligus menebus rasa bersalah pada gadis itu.
"Oke, Mas. Aku mau ke rumah Gista."
"Good! Thank you so much, Pris!" Mas Rayhan mengambil jas yang tersangkut di kursinya. "Let's go!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...