Part 33: Big Surprise

19.1K 2.1K 252
                                    

"Dirga! Kok, mau dateng nggak bilang-bilang?" seru Mas Rayhan yang tampak gelagapan. Dia langsung menghampiri pria berjaket kulit itu. "Sorry, lo lihat tadi, ya? Biasa, anak-anak emang suka pada ribut. Udah biasa. Bentar juga baikan lagi. Bercanda," ocehnya tak jelas.

Mulut Prisa ternganga dengan jantung berdetak kuat demi melihat investor yang sejak beberapa waktu lalu dibicarakan itu. Ia seharusnya baru pertama kali bertemu dengannya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Malah, beberapa hari terakhir ini mereka menghabiskan waktu bersama.

Dirga? gumamnya dalam hati. Bukan! Itu ... Mas Asa!

Prisa mengucek mata, memastikan penglihatannya tidak salah. Tidak, tidak mungkin ia tidak tahu kalau Mas Asa ternyata adalah investor. Bukankah dia pengantar pizza? Selama ini mereka berinteraksi, pria itu sama sekali tidak pernah mengatakannya. Astaga! Apa dia saja yang salah menyangka?

Ia mengerling pada Mas Asa—atau Dirga?—yang melirik sekilas ke arahnya seraya tersenyum tipis.

"Nggak, kok. Gue cuma datang mau jemput Prisa," ucapnya santai.

Seperti mendapat bintang yang menerangi kegelapan, hati Prisa ingin terbang di dalam lautan cahaya. Getaran lembut menjalar di sekujur tubuhnya, seolah ada ribuan kunang-kunang yang menjalar di seluruh pembuluh darahnya. Jantungnya berdegup semakin keras, tetapi kali ini penuh dengan irama. Begitu pula pipinya yang terasa panas.

Astaga! Perasaan apa yang tiba-tiba menelusup ke dalam hatinya ini? Apakah semata-mata kemenangan karena sudah berhasil membalikkan keadaan. Atau karena mengetahui fakta bahwa Mas Asa seorang investor? Apalagi, dia menjemputnya di depan semua orang!

Oh, Tuhan! Prisa bisa pingsan karena begitu berdebarnya.

Gadis itu menoleh pada deretan pegawai lain yang menatapnya dengan mulut terbuka. Terlebih Mas Steve, dia membeku seperti baru saja terkena sengatan listrik. Wajah putihnya merah padam, tangannya terkepal kuat. Dia segera meninggalkan kerumunan dan masuk ke ruang rapat sambil membanting pintu.

"Ayo, Prisa. Sudah selesai, belum?" tanya Mas Asa pada gadis yang sedang terbius oleh lonjakan perasaan itu.

Prisa terkesiap, kembali menyadarkan diri dari mimpi yang menjadi nyata. "Ehm, iya, Mas," sahutnya tergagap. "Ada beberapa barang yang mau kuambil dulu."

"Eh, tunggu, tunggu! Lo kenal Prisa? Se–sejak kapan?" Mas Rayhan, yang juga tampak baru sadar dari keterkejutannya menyela.

"Sejak pertama gue datang ke sini." Mas Asa menjawab dengan tatapan diiringi senyuman misterius yang ditujukan pada Prisa.

Wajah Mas Rayhan memucat. "Hah? Bu–bukannya waktu itu Prisa nggak ada?" pekiknya.

Mas Asa mengangkat bahu. "Tapi buktinya gue ketemu. Mungkin jodoh?" ucapnya menaikkan sebelah alis. Sesaat kemudian, dia beralih pada Prisa. "Ayo, Prisa. Kalau urusan kamu sudah selesai, kita pergi dari sini."

Masih gemetar demi mendengar kata-kata Mas Asa, Prisa tak sanggup bersuara. Ia hanya mengangguk dan melesat menuju ruangannya, menahan gejolak di hatinya yang seperti ditumbuhi bunga. Benih kecil yang selama ini tersimpan jauh di dasar hatinya mulai bersemi. Terlebih saat mendengar kata jodoh yang diucapkan pria itu. Astaga! Semoga mekarnya bunga di hatinya tidak membuat pipinya semakin merona. Walaupun ia tahu, mungkin terlalu cepat untuk jatuh cinta lagi.

Memasukkan barang-barang dari laci dan loker ke dalam goodiebag, Prisa tak bisa berhenti tersenyum sendiri. Semua sakit yang ia lalui kini berakhir di titik ini. Sedikit rasa berat muncul saat ia akan meninggalkan tempat yang sudah menyimpan banyak memori. Namun begitu, luka yang ditorehkan juga cukup dalam hingga ia tak akan sanggup lagi berada di sini.

Copycat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang