Part 22: Express Feeling

8.7K 1.4K 62
                                    

Prisa hendak berbalik, tetapi tangannya tertahan oleh genggaman kuat Kak Livi.

"Pris, ayo, makan dulu!" ajak Kak Livi lembut.

"Aku masih kenyang," dusta Prisa. Padahal sejak tadi perutnya bergemuruh karena ia belum sempat sarapan.

"Jangan gitu. Makanannya udah disiapin sama panitia. Semua harus makan karena abis ini kerjaan kita tambah banyak," desak Kak Livi.

Menyerah, Prisa akhirnya masuk ke ruangan itu dan membanting tubuh di atas sebuah kursi. Ia duduk dengan kaku sambil meletakkan ponsel di atas meja, kemudian menguncir rambut ikal sepinggangnya yang digerai. Matanya beredar dan tampak banyak juga pegawai perusahaan lain yang sedang melakukan santap siang. Mereka bersenda gurau sambil menikmati hidangan yang disediakan.

Sebuah kotak bento diletakkan Kak Livi di meja depan Prisa. Perempuan itu menarik kursi dan duduk di hadapannya.

"Pris, gue mau minta maaf soal tadi pagi. Gue kesal banget lihat si Gista merengek-rengek gitu sama lo. Apalagi dia jatuhnya kayak posesif banget ke lo gitu. Jujur, walaupun gue sebel sama Steve, tapi paling nggak dia nggak seposesif itu sama lo, padahal dia jelas-jelas pacar lo. Lah ini, bocah baru deket sama lo dua hari aja udah sok ngatur-ngatur hidup lo," cetus Kak Livi panjang lebar.

Prisa mendengkus. "Tapi, kan, Kakak nggak perlu pakai kekerasan gitu!" tukasnya. "Kakak bisa bilang baik-baik, nggak usah dorong dia kayak gitu sampai jatuh. Gimana kalau dia luka?"

"Iya, makanya gue minta maaf," desah Kak Livi. "Gue kalap banget lihat orang menye-menye gitu. Masih mending gue cuma dorong, nggak gue hajar mukanya."

Mata Prisa terbelalak. "Tuh, kan, Kak Livi! Gue nggak suka banget, deh, sama orang yang dikit-dikit pake kekerasan. Mau hajar, mau pukul. Emang kalo udah ngehajar atau mukul masalah bisa selesai? Nggak, kan?"

Amarah yang sedari tadi tertahan di hati Prisa kini keluar juga. Dadanya naik turun seiring sesak yang mendesak keluar. Napasnya memburu, tangannya terkepal di atas meja. Ingin rasanya ia berteriak, tetapi rasa malu yang tersisa menahannya.

"Iya, iya. Gue ngerti maksud lo, Pris. Gue bener-bener minta maaf, oke? Gue nggak bakal begitu lagi," ucapnya dengan wajah memerah.

Mendengar ketulusan dari ucapan dan nada suara Kak Livi membuat hati Prisa tersentuh. Ia paham betul, perempuan berambut pendek itu memiliki ego yang tinggi. Jangankan minta maaf, kata-kata kasar selalu keluar dari mulutnya tak peduli siapa yang salah. Belum lagi kemampuan karate yang pernah menghantarkannya meraih medali perak PON saat masih kuliah dulu. Dia tak terkalahkan, bahkan oleh para laki-laki di kantor sekali pun.

Namun kini, dihadapan Prisa, dia menurunkan harga dirinya yang tinggi dan rela mengakui kesalahan. Bagaimana ia bisa terus marah padanya?

Membuang napas kasar, Prisa akhirnya berkata, "Kak Livi janji nggak kasar lagi?"

"Iya. Gue janji," tegas perempuan itu mengacungkan telunjuk dan jari tengah.

Prisa menggerakkan bibirnya yang terasa kaku untuk tersenyum. "Makasih, ya, Kak. Gue pegang janji lo!"

"Gue nggak bakal ngingkarin janji. Pantang!"

"Iya, gue percaya lo, Kak!" Hati Prisa kini terasa lebih lapang. Tinggal satu hal yang mengganjal pikirannya. "Tapi ... kenapa lo sampe begini, Kak? Maksud gue, biasanya jangankan minta maaf. Malah yang ada lo yang marah-marah."

Bersiap mendengar rentetan omelan, Prisa memejamkan mata. Namun yang ada malah embusan napas pelan dari mulut wakil CEO itu. Tangannya memainkan sendok yang berada di dalam gelas berisi kopi.

"Gue nggak mau kehilangan teman yang punya hati sebaik lo, Pris," jawabnya membuat pipi Prisa merona, "bahkan lo masih ngebelain orang yang udah bikin lo kesel. Hati lo itu terlalu lembut, tau nggak. Di satu sisi gue merasa nyaman, tapi di sisi lain gue juga merasa punya kewajiban buat jagain lo. Gue takut ada yang nyakitin lo."

Copycat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang