Part 13: Prince Charming

10.1K 1.6K 144
                                    

Mas Steve menghambur masuk dengan panik. Penampilannya sungguh berbeda dari biasanya. Rambutnya acak-acakan, kulitnya pucat, serta matanya merah dan tampak bengkak. Pria itu mengenakan hoodie dan celana jeans, bukan setelan jas seperti biasa. Dia langsung menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Prisa sambil menggamit kedua tangannya dan bersimpuh. Otak Prisa belum pernah menyimpan memori dari bau asing yang menguar dari tubuhnya.

"Sayang! Aku minta maaf! Semalam aku ketiduran! Kepalaku pusing banget. Kamu gimana pulangnya? Katanya kamu jatuh? Kaki kamu sakit?" teriaknya histeris.

"Mas Steve sakit?" Prisa balik bertanya. "Kok, HP-nya mati?"

"Ah, itu ...." Pria itu mengusap tengkuk, matanya menerawang. "Semalam aku pusing banget, terus ketiduran. Terus ... HP-ku kesenggol dari tempat tidur, jadi jatuh. Maaf banget, ya, Sayang! Aku jadi nggak jemput kamu."

Memar kemerahan terlihat di sekitar leher Mas Steve. Prisa mengernyitkan dahi. Penasaran, ia menyentuh memar itu, membuat kekasihnya terkesiap. Pria itu menaikkan resleting jaket hingga menutupi sebagian besar lehernya dan menaikkan hoodie hingga menutupi kepala.

"Ya ampun! Mas Steve masuk angin? Udah minum Tolak Angin? Ini siapa yang kerokin?" tanya Prisa tak tega.

"Ah, i–iya, Sayang. Aku masuk angin. Ini dikerokin sama ... bibi yang bantuin di rumah," sergah Mas Steve. "Kamu gimana, Sayang? Kaki kamu masih sakit? Duh, aku bener-bener minta maaf, ya, Sayang. Kalau aku nggak sakit, aku pasti jemput kamu," sesal pria berambut cokelat itu. Matanya berkaca-kaca.

Prisa mengusap pipinya. "Nggak apa-apa. Mas Steve, kan, lagi sakit," ucapnya lembut. "Kaki aku cuma keseleo sedikit aja, paling dua tiga hari sudah sembuh kata perawatnya."

"Benar? Apa kita nggak ke dokter spesialis tulang aja di rumah sakit? Biar di-rontgen apa gimana, takutnya tambah parah!" pekik Mas Steve panik.

"Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa beneran. Mas Steve yang harusnya ke rumah sakit!"

Belum sempat Mas Steve menjawab, terdengar suara pintu dibuka dengan keras. Mas Rayhan menghambur masuk, membawa tas besar.

"Steve! Ke mana aja, sih, lo? Dari tadi gue telepon nggak diangkat! Ayo, kita berangkat sekarang!" Mas Rayhan mengernyitkan dahi. "Lo kenapa pake baju gitu, deh? Cepat ganti!"

"Gue nggak ikut dulu, deh, Ray. Nggak enak badan," pinta Mas Steve memelas.

"Halah! Nggak usah alasan! Emang gue nggak tau?" pekiknya bertolak pinggang. "Ayo!"

Rahang Mas Steve mengeras demi mendengar perkataan CEO itu. Kulitnya yang putih semakin pucat, matanya membola. Ia melemparkan tatapan tajam pada sang atasan, sebelum kembali tersenyum kaku saat menghadap Prisa.

"Tau apa?" gumam Prisa menatap kedua lelaki itu bergantian.

"Ah, bukan apa-apa, Sayang," tukas Mas Steve. "Aku pergi dulu, ya, Sayang. Nanti kita pulang bareng. Love you, Sweety."

Dalam satu gerakan kilat, Mas Steve mengecup dahi Prisa. Ia meninggalkan ruangan dengan terburu-buru, mengejar Mas Rayhan yang sudah mendahuluinya. Prisa tak bisa berkata-kata, hanya bisa melepas kepergiannya dengan beribu tanda tanya.

***

"Gis, ayo makan bareng!"

Gadis berkacamata itu menggeleng tanpa menjawab. Prisa menghela napas, kemudian kembali menghadap meja tempat Kak Livi, Kak Tera, dan Hana sedang menyantap makanan. Mereka makan siang bersama di ruang divisi IT, menata meja di tengah ruangan yang lengang.

"Dahlah, Pris! Ngapain, sih, lo ngajakin dia mulu! Dari tadi diajakin juga nggak mau!" omel Kak Livi.

"Tau, Pris! Udah makan dulu!" sambung Kak Tera sambil menyuap mie yang tergulung di sumpit bambunya.

Copycat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang