Seperti deja vu, Prisa seperti mengulang kehebohan di kamar indekos tadi pagi. Semua mengerubunginya di depan kursi, bertanya apa yang terjadi. Kabar ia terluka dengan cepat menyebar seperti virus yang terbawa angin. Terlihat hampir semua karyawan wanita dari semua divisi kini sudah berada di hadapannya dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Semalam aku lembur, terus pas mau pulang buru-buru jadi jatuh," jelasnya singkat. Kalau ia menceritakan runtutan kejadian seperti tadi pagi, bisa-bisa tidak ada yang bekerja karenanya.
"Duh, kenapa lo nggak telepon gue aja? Kan, gue bisa jemput!" omel Kak Livi bertolak pinggang.
"Tau, nih! Kalo nggak suruh si Kevin jemput, kek. Dia, kan, kosannya deket sini!" Kak Tera ikut-ikutan.
"Lah, gue udah molor kali jam segitu!" sergah Kevin yang tak terlihat batang hidungnya karena tertutup teman-teman yang lain. "Lagian Prisa udah gue bilangin nggak usah lembur, nggak percaya!"
"Terus terus, sekarang kaki kamu gimana, Pris? Sakit banget, ya?" timpal Hanna yang berlutut di depannya dengan mata berkaca-kaca.
Prisa tertawa melihat keriuhan yang tak dapat dihindari. "Gue nggak apa-apa, kok. Serius. Santai aja. Kata perawatnya juga semalam cuma keseleo ringan aja, dua tiga hari sembuh," terangnya. "Anyway, makasih banyak, ya. Kalian semua udah pada perhatiin gue."
Kak Tera memeluk kepala Prisa, sedangkan Hanna mengusap-usap lututnya. Teman-teman yang lain juga menyemangati Prisa agar cepat sembuh dan menawarkan bantuan. Ia benar-benar terharu atas semua perhatian yang diterimanya, bukan hanya di tempat indekos tadi, tetapi juga di tempat kerja. Tanpa sengaja matanya melirik ke arah Gista duduk. Gadis itu tampak mencuri pandang ke tempatnya sembari menggigit bibir.
"Sorry, Guys! Saya pinjam Prisa karena mau ngerjain kerjaan urgent!" Suara Mas Bagas memecah keriuhan yang terdengar seperti dengung lebah.
Tinju Kak Livi mendarat di lengan kanan Mas Bagas. "Lo gimana, sih, Gas! Bawahan lagi kesakitan malah disuruh masuk kerja! Tega banget, sih!" bentaknya melotot.
"Saya juga nggak tau kalau Prisa sakit. Prisa nggak bilang. Kalau tau semalam Steve nggak bisa jemput, pasti saya jemput. Begitu juga tadi pagi," balas Mas Bagas. Dia beralih pada Prisa dengan wajah serius. "Prisa juga. Kalau butuh bantuan langsung telepon saya. Jangan sampai malah kejadian kayak gini saya nggak tau!"
Prisa menggigit bibir. "Ah, i–iya, Mas," cicitnya seperti tikus. Duh, kenapa dia juga ikut kena omel?
"Ya udah, sekarang yang lain bubar! Biar Prisa kerja dulu sebentar, nanti saya antar pulang abis ngerjain ini!" perintah Mas Bagas disambut gerutu dari semua yang ada.
"Nggak usah! Biar gue aja yang antar! Telat lo!" tukas Kak Livi. "Lagian, ini semua gara-gara anak buah lo yang nggak becus kerja, jadi Prisa yang kena!" sindirnya tajam dengan sudut mata melirik ke pojok ruangan.
Suasana seketika hening. Tanpa perlu disebut, semua pasti sudah tau siapa yang dimaksud. Seperti dikomando, semua mata kini terarah pada gadis yang sedang menunduk dalam.
"Udah ... udah, Teman-teman. Aku nggak apa-apa beneran. Sekarang kita kerja dulu, yuk! Nanti makan siang bareng, gimana?" pekik Prisa dengan keringat bercucuran. Dia harus mencairkan suasana yang mendadak dingin. Kasihan Gista, bukan salahnya juga kalau dia sampai terjatuh karena mengejar maling.
Kak Livi menghela napas panjang. "Ya udah. Yok, lanjut kerja. Biar Prisa bisa istirahat juga. Tinggal, ya, Pris!" pamit Kak Livi mendorong Kak Tera dan Hanna keluar ruangan. Begitu juga teman lain, satu per satu membubarkan diri setelah membisikkan kata penyemangat pada Prisa.
"Nanti makan siang bareng, ya, Pris!" teriak Hanna dari balik pintu. Prisa mengangguk sambil tertawa melihat sahabatnya ditarik paksa oleh Kak Livi sebelum menutup pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...