Part 15: Perfect Girl

9.6K 1.5K 63
                                    

Prisa memberikan sentuhan terakhir pada ilustrasi yang baru saja dibuat. Ia sudah menyelesaikan membaca Sorcerer's Sword dalam semalam dan lanjut membuat ilustrasinya. Entah apa yang membuat semangatnya kian membara. Tidak, tentu saja bukan karena ia mengenal penulisnya. Cerita fantasi ini memang mampu membangkitkan imajinasi lulusan desain komunikasi visual itu untuk melukiskan tokoh-tokoh di dalamnya. Meskipun ini kali pertama ia membuat desain karakter dewasa, ia begitu menikmati prosesnya. Selain kemampuannya terasah, rasanya sungguh lega membebaskan kreativitas yang selama ini hanya dipendam di dasar otak yang terdalam.

Selesai! Tak lupa Prisa menyimpan hasil karyanya untuk diberikan pada Mas Asa nanti sore. Dia sudah membuat janji temu dan beruntung pria itu sedang libur. Lagi pula, Mas Steve pasti masih menghadiri acara Belajar Bersama yang diadakan Kemendikbud. Ia bersama Mas Bagas dan teman-temannya yang lain sedang mempresentasikan KawanCeria 2.0 yang sudah selesai digarap. Kalau saja kaki Prisa kemarin tidak sakit, sebenarnya ia pasti ikut. Namun, Mas Bagas dan Mas Steve kompak melarang agar ia bisa beristirahat, meskipun sekarang ia sudah bisa berjalan normal. Ia hanya berharap semoga kedua pria itu juga tetap kompak di acara dan tidak menimbulkan keributan seperti beberapa hari lalu.

Tunggu dulu. Entah mengapa seperti ada yang mengganjal. Pertemuannya dengan Mas Asa adalah hal yang wajar, bukan? Maksudnya, ia hanya akan memberikan ilustrasinya sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolongnya, juga menggantikan jaket dan kaos yang robek saat menolongnya. That's it. Tidak ada maksud lain. Namun, mengapa pergi bertemu pria lain tanpa mengabari Mas Steve rasanya sungguh janggal. Ia tidak berselingkuh, bukan? Tidak, tentu saja tidak.

Apa seharusnya ia mengajak Mas Steve untuk bertemu Mas Asa? Setidaknya, dia harus tahu siapa pria yang sudah menyelamatkan pacarnya. Namun, bagaimana kalau mereka bertengkar seperti kejadian dengan Mas Bagas tempo hari? Ia belum siap menghadapi kemarahan Mas Steve, juga berhenti berhubungan dengan Mas Asa. Duh, kenapa pikirannya jadi rumit begini?

Prisa mengacak-acak rambutnya hingga kusut tak karuan. Ia memijat pelipisnya pelan sambil memejamkan mata. Dilema batin ini sungguh membuatnya tak bisa berpikir jernih. Seolah ada dua cupid yang muncul di kepalanya, satu yang berwarna putih menyuruhnya untuk membatalkan pertemuan, sedangkan yang merah membisikkan untuk mengambil kesempatan. Uh, rasanya ia ingin berteriak karena begitu pusingnya!

"Kak? Kak Prisa?"

Tersentak, Prisa menghentikan aksinya dengan mata terbelalak. Tampak Gista berdiri di samping mejanya, menatapnya penuh tanda tanya. Ia hanya bisa nyengir menghadapi juniornya itu, memasang senyum kaku sambil merapikan rambut dengan jari. "Hai, Gis. Ada apa?"

"Ah, ini. Aku beli chicken teriyaki sama beef yakiniku banyak. Apa ... Kakak mau makan bareng?" tanyanya dengan pipi merona sambil menunduk.

"Wah, apa boleh?" Prisa balik bertanya, kikuk. Ia melirik jam digital yang berada di sudut layar komputer. Benar saja, waktu makan siang sudah tiba. "Ah, iya. Udah jam istirahat, ya," gumamnya pelan sambil menggaruk pipi dengan telunjuk.

"Iya, aku sengaja beli banyak buat Kakak." Suara Gista terdengar melengking.

"Oh, ma–makasih," ucap Prisa entah mengapa jadi terbata. Apa karena juniornya itu memergokinya sedang bertingkah tak karuan atau karena perubahan sikap cewek pendiam itu yang tiba-tiba mengajaknya makan? Padahal sebelumnya, dia bahkan tak menjawab saat diajak makan siang bersama Kak Livi dan yang lainnya. Ah, sudahlah. Ia tak boleh membuat suasana kembali tidak nyaman. "Ya udah, yuk, makan bareng. Kita makan di pantri aja, gimana? Pasti sepi karena yang lain pada sibuk BB."

Gista mengangguk singkat dan mendahului menuju luar ruangan. Prisa mencabut ponsel dari kabel charger, kemudian mengekor gadis itu. Aroma ayam yang menguar membangkitkan rasa lapar yang sejak tadi tak disadari. Atau mungkin memang sudah sejak tadi lambungnya minta diisi? Entahlah. Ia sering mengabaikan sinyal tubuhnya saat sedang konsentrasi menggambar.

Copycat [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang