Turun dari Transjakarta, Prisa membuka ponsel yang sejak tadi bergetar. Nama Ibu tertera, membuatnya otomatis menggeser tombol hijau. Setiap Ibu menelepon, dia selalu berdebar. Di satu sisi, senang karena mendengar suara Ibu, tetapi di sisi lain, ia takut jika kabar duka yang diterima mengingat Bapak masih terbaring sakit.
"Halo, Bu. Ibu telepon, ya, tadi? Prisa lagi di bus."
"Iya, Pris. Ibu baru baca SMS kamu. Semalam kamu kirim duit? Ya ampun, emang kamu ada uang?" Suara Ibu terdengar bergetar.
"Ada, Bu. Kemarin Prisa dapet bonus dari kantor. Jadi langsung Prisa kirim buat Ibu."
"Alhamdulillah. Mudah-mudahan kerjaan kamu lancar dan berkah, ya," isak Ibu.
"Tapi kamu harus jaga kesehatan juga. Jangan sampai nggak makan gara-gara kirim buat Ibu sama Bapak."
"Iya, Ibu tenang aja. Prisa di sini cukup, kok," jelas Prisa. Ia baru keluar dari halte yang panjang dan dalam perjalanan menuju gedung kantornya. "Bapak gimana, Bu?"
Desahan napas terdengar dari mulut Ibu. "Bapak makin nggak sadar. Setiap hari marah-marah, udah kayak nggak kenal sama Ibu. Katanya, dadanya sesak, mau napas berat. Batuk-batuk terus juga. Tapi ... masih aja minta rokok."
Prisa memutar bola mata. Dari dulu, Bapak memang selalu keras kepala. Kasihan Ibu yang harus menjaganya. "Apa nggak dibawa ke rumah sakit lagi aja, Bu?"
"Bapak nggak mau, Pris. Katanya mau di rumah aja. Baru tiga hari yang lalu juga, sih, pulang dari sana. Takut jaminannya belum bisa."
Andai saja gaji Prisa lebih besar, tentu ia bisa menanggung biaya pengobatan Bapak. Namun, pendapatan pokok setara UMR hanya cukup untuk mengirim untuk keperluan sehari-hari Ibu dan biaya hidup di Jakarta. Tentu saja ia harus berhemat jika ingin bisa makan teratur.
"Ya udah, baiknya gimana menurut Ibu aja. Ibu, kan, yang di sana, yang tau gimana keadaannya," ucap Prisa pelan. Kini ia sudah tiba di pintu lobi.
"Iya, Pris. Makasih banget, ya, kamu udah kirim uang. Ibu doain, mudah-mudahan kamu sehat terus. Hati-hati, jaga diri."
"Aamiin. Ibu juga, ya. Jangan kecapekan, makan yang banyak. Bapak juga mudah-mudahan lebih baik kondisinya."
Suara batuk panjang Bapak terdengar keras di balik suara Ibu. "Udah dulu, ya, Pris. Bapak batuk, batuk lagi."
"Iya, Bu. Salam buat—"
Sambungan terputus sebelum Prisa menyelesaikan pembicaraan. Ia terdiam sesaat, menghela napas. Andai saja ia ada di sana, ia pasti bisa membantu Ibu. Namun, siapa yang akan mencari uang?
***
"Morning, Pris! Bengong ae!" sapa Kevin, front end programmer di tim Prisa saat ia sedang menunggu lift.
"Oh, hai, Kev," Prisa tersenyum. "Tumben dateng pagi."
"Iya. Kan, disuruh Mas Bagas tadi."
"Oh, ya? Kok, gue nggak tau?"
"Lo nggak buka WA grup? Jam lima dia udah ngoceh coba! Untung gue kebelet kencing jam enam, jadi baca," gerutu Kevin sambil menyesap kopi dalam cangkir kertas di tangannya. "Untung lo emang biasa dateng pagi, ya. Wajar, sih. Best employee ...!" godanya sambil menyikut Prisa.
"Apaan, sih, Kev," balas Prisa. "Makanya, lo dateng pagi. Biar bulan depan lo yang dapet!"
"Halah. Mau gue dateng tengah malam juga nggak bakal kepilih, Pris," sangsinya seiring pintu lift yang terbuka. Mereka masuk bersama pekerja lain menuju lantai atas. Kevin menekan tombol dengan angka dua puluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
Roman d'amourGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...