Edward menghunus pedang yang sudah diisi manna ke depan monster bergigi tajam itu. Ia memusatkan kekuatan pada inti naga yang terdapat dalam ukiran pedang. Monster itu mengaum, suaranya menggema dalam gua gelap gulita. Hanya cahaya hijau yang berpendar dari pedang membuatnya dapat mengawasi gerak gerik makhluk buas yang meneteskan lelehan cairan berbisa itu. Dengan lincah, ia menghindari serangan seraya mencari titik vital monster pemangsa itu. Ketemu! Tampak sebuah benjolan besar berdenyut di kepala monster, tepat di antara kedua mata merahnya.
Dalam satu gerakan cepat, Edward meliputi tubuhnya dengan sihir angin hingga terangkat dan mengapung di udara. Ia berkelit dari serangan bertubi-tubi yang dilancarkan monster itu, menyasar titik lemah yang ternyata lebih sulit dari dugaan. Berkali-kali ia terantuk bebatuan tajam di dinding gua, hingga terkena cairan berbisa yang mampu melelehkan baju besinya. Bau anyir busuk seolah menyumbat indera penciumannya, begitu pula suara amukan yang merobek gendang telinga. Meskipun begitu, semangatnya tak surut sedikit pun demi mendapatkan emas dan permata yang akan membuatnya kaya raya.
Sabetan pedang Edward berhasil memutus sungut yang keluar dari atas hidung monster. Makhluk buas itu mengerang dan sang penyihir tak tinggal diam. Ia mengambil kesempatan untuk melompat ke atas kepala hewan yang terluka, kemudian menancapkan pedang manna itu ke titik lemahnya. Semburan darah hitam pekat keluar dari sisi pedangnya, membuat makhluk itu menggeliat dan mengamuk, sebelum akhirnya tersungkur dan terjerembab ke dasar gua.
Merayakan kemenangan dengan mengangkat pedang tinggi-tinggi, Edward tak ingin membuang waktu. Ia melesat melewati celah sebesar dua kepal lengan, menerobos bagian terdalam gua yang membuat napasnya terasa sesak. Meskipun begitu, matanya kini tak perlu bekerja keras karena terdapat cahaya putih yang menerangi seluruh bagian gua. Ia menghampiri asal cahaya yang terdapat di belakang jeruji. Bibirnya tak bisa berhenti tersenyum, membayangkan betapa berharganya permata yang akan ia temui, mengingat cahaya yang dipancarkannya saja sudah seterang ini.
Ia merapalkan mantra untuk mengusir segel sihir yang dipasang di depan jeruji besi, kemudian menarik gagang pintu dan membukanya. Bunyi berderit menggema di seluruh gua, tetapi Edward tak menghiraukannya. Ia sedang terpana dengan pemandangan tak biasa yang tertangkap di mata.
Bukan emas maupun permata, melainkan sosok perempuan berambut pirang dengan kulit seputih batu pualam, memakai gaun berwarna senada. Tubuhnya memancarkan cahaya benderang, bibir merah mudanya menyunggingkan senyuman secerah matahari di siang hari. Bahkan tanpa bersuara, Edward bisa menangkap ucapan terima kasihnya yang entah bagaimana merasuk ke dalam jiwa.
Astaga! Bagaimana bisa ada seorang dewi terkurung di sini?
***
Tubuh Prisa merinding kala membaca kata demi kata yang tertulis dalam buku The Sorcerer's Sword karangan Mas Asa. Ia tak menyangka akan terlarut dalam cerita fantasi yang baru pertama kali dibaca seumur hidupnya. Harus diakui, ia memang jarang membaca buku—membayangkannya saja sudah membosankan. Ia tentu saja lebih memilih komik bergambar. Namun, kali ini pandangannya terhadap novel berubah. Ia mulai jatuh cinta pada untaian kata, ingin membaca terus dan terus hingga tanpa sadar sudah berada di bagian tengah buku.
Sebuah ide terbersit di pikirannya. Pasti menyenangkan jika ia mampu memvisualisasikan Edward dalam bentuk. Membayangkan tubuhnya yang kekar terbalut dengan baju besi khas ksatria sambil memegang pedang dan menunggangi seekor kuda, ia jadi teringat akan otot sixpack Mas Asa. Ia akan membuat sketsa dan desain karakternya menggunakan ingatan akan pria itu sebagai model imajinasinya. Tak dapat dipungkiri, tokoh Edward memang sangat sesuai dengan gambaran penulisnya. Tampan, gagah, dan memesona.
Tunggu dulu! Kenapa ia jadi kepikiran Mas Asa?
Mengetuk kepala yang kerap memikirkan pria itu, Prisa kembali serius. Ia akan membuat gambar ilustrasi tokoh di novel karya Mas Asa: penyihir Edward dan dewi di balik jeruji. Gambar itu akan ia berikan pada sang penulis yang sudah banyak membantunya—bahkan dia baru saja mengirimkan pizza setelah tahu Prisa mendapat cuti kerja. Mungkin saja jika pria itu suka, gambar buatannya bisa menjadi sampul depan novel selanjutnya. Lalu, ia bisa meminta Mas Asa untuk mempromosikan jasa ilustrasi pada teman-teman sesama penulis. Ah, tangan Prisa rasanya gatal untuk menghitung berapa keuntungan yang bisa didapatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...