"Ih, nggak, kok! Sumpah, keren banget!" teriak Prisa tanpa sadar. Baru kali ini ia bertemu dengan penulis buku secara langsung. Terjawab sudah bagaimana dia bisa punya motor sport besar itu. Ia bisa menyimpulkan bahwa ternyata pendapatan penulis sangat besar. Mungkin Mas Asa juga sudah terkenal. "Ehm ... anu, Mas. Terus, kenapa Mas bawa-bawa buku sambil antar pizza?" tanyanya mengusir rasa penasaran yang tadi mendera.
Mata cokelat pria itu terbelalak. Sesaat kemudian, dia mengulum senyum sambil manggut-manggut. "Ah, itu? Itu tadi bukunya saya titip sama satpam, terus lupa saya ambil. Baru sempat tadi pas ketemu Mbak Prisa di depan," paparnya nyengir. Dia mengambil satu eksemplar buku dari dalam tas kain, kemudian menyodorkan pada Prisa. "Ini, Mbak Prisa. Tolong terima satu buku saya, buat kenang-kenangan."
Prisa masih memikirkan kejanggalan rentetan situasi pengantaran pizza dan buku ketinggalan. Rasanya ada yang tak masuk akal. Namun, kalau ia berpikir terlalu lama, bisa jadi pria itu mengira ia menolak pemberiannya.
"Oke, kalau Mas yang nulis bukunya, saya mau. Tolong tanda tangani juga, ya!" pinta Prisa yang disambut dengan anggukan pria itu. Dia menarik kembali buku yang disodorkannya, kemudian merobek segel plastiknya dan meminjam pena dari Prisa. Ia mengguratkan tanda tangan dan namanya di halaman depan buku itu.
'Untuk Mbak Prisa, hati-hati saat berjalan. Jangan sampai jatuh dan terluka, untuk kesekian kalinya.'
Dia memandang Prisa yang mengintip tulisannya dengan senyum samar. Prisa melotot sambil bertolak pinggang, pura-pura marah. "Ini ... nyindir saya, ya?"
"Bukan," Pria itu menggeleng. "Ini pesan untuk Mbak Prisa, supaya lebih hati-hati. Karena ... nanti saya nggak akan bisa ada di samping Mbak Prisa lagi."
Hati Prisa mencelos. Entah kenapa ia merasa berat mendengar kalimat bernada perpisahan itu. Yah, ia tahu kalau keinginannya untuk bertemu tukang pizza alias penulis itu lagi adalah salah. Dia sudah punya pacar, tak baik untuk berhubungan dengan pria lain. Apalagi ia baru saja bertemu dengan Mas Asa hari ini, di antara mereka belum ada perkenalan lebih jauh. Lagi pula, sepertinya Mas Asa juga menghormati hubungannya dengan Mas Steve sehingga ia membuat jarak tersirat. Namun untuk kali ini, biarkan ia membalas kebaikannya untuk terakhir kali.
"Kalau begitu, tolong tulis alamat Mas Asa. Nanti saya mau kirim baju untuk gantiin jaket sama kaos Mas Asa yang robek. Apalagi sekarang Mas Asa jadi pakai baju bekas darah begini," desak Prisa. "Tolong, kali ini jangan ditolak. Biar saya nggak punya utang sama Mas Asa."
Mas Asa tampak menghela napas. "Oke. Saya kasih nomor HP saya aja, ya. Nanti saya kirim alamat di WA aja." Dia kembali mengguratkan deretan angka di bawah pesannya tadi, kemudian menyerahkan buku dan pena pada Prisa.
Entah mengapa hati Prisa terasa lebih ringan. Ia memasukkan buku itu ke tas sambil berkata ceria. "Makasih, ya, Mas."
"Loh, harusnya saya yang makasih, dong. Kan, saya yang mau dibeliin baju," candanya membuat Prisa tergelak. Setelah tawa mereka berhenti, wajah pria itu mendadak berubah serius. "Sekarang udah semakin malam. Kalau pacar Mbak Prisa nggak bisa jemput, biar saya yang antar. Saya khawatir kalau Mbak harus naik taksi sendirian dengan kondisi kaki begini."
Memutar otak untuk mencari alasan penolakan, Prisa tak menemukannya. Malah dalam hati, ada sedikit percikan kembang api yang membuatnya ingin tersenyum. Meskipun begitu, ia sadar untuk tidak bermain api, khawatir bisa menyulut dan membakar hati. Apa yang dilakukan Mas Asa adalah kebaikan moral secara umum di mana seorang laki-laki yang tak tega membiarkan perempuan pulang sendiri. Dia pasti akan melakukan hal yang sama pada siapa pun wanita yang ditolongnya. That's it!
"Oke," jawab Prisa dengan suara serak setelah pergolakan batin yang membelit hatinya. "Saya bayar dulu biaya pengobatan kita."
"Udah saya bayar, Mbak," tahan Mas Asa. "Tinggal ambil obatnya. Mbak Prisa duduk manis aja di sini, tunggu saya urus semuanya. Nanti saya pesan taksi online juga dan antar Mbak Prisa sampai rumah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Copycat [END]
RomanceGimana rasanya kalau ada orang yang ngikutin gaya kita? Dari fashion, potongan rambut, sampai gaya bicara, diikuti juga! Kesal, nggak, sih? Itulah yang dialami Prisa. Kebaikannya membantu Gista, rekan kerjanya malah jadi bumerang buat dia. Gista men...